F

Maiden Cygnus Volume 3 Chapter 3 Bahasa Indonesia

 

Para Gadis yang Khawatir

Karena Klub Seni Bela Diri dan Klub Crowd Ball memiliki hari yang berbeda, Alisa perlu menghabiskan waktu di suatu tempat di sekolah sampai kegiatan klub Marika berakhir setiap hari Senin. Alisa menggunakan waktunya untuk belajar sendiri di perpustakaan.

Senin, 15 Juni, sepulang sekolah. Minggu ini Alisa juga mengunjungi ruang belajar mandiri perpustakaan.

Dia meminjam terminal di resepsionis untuk menggunakan internet sekolah dan mencari tempat duduk. Untungnya, kursi yang dia gunakan setiap minggu masih kosong. Tempat duduk di ruang belajar mandiri tidak tetap, tapi pengunjung cenderung memilih tempat duduk yang sama setiap saat. Selain itu, penggunanya memiliki hari dan waktu yang tetap.

Alisa membuka terminal, lalu begitu dia selesai mengkonfirmasi ID miliknya, sebuah suara di sebelahnya memanggilnya, bertanya "Aku boleh duduk di sini?". Itu suara laki-laki yang sudah dikenalnya.

"Ya, silakan."

Alisa menanggapi sambil memutar kepalanya. Seperti yang dia duga, orang yang berdiri di sana adalah seorang siswa di tahun yang sama dengannya.

"Permisi."

Laki-laki itu dengan hati-hati menjawab sambil duduk.

Senyum malu-malu yang muncul di wajahnya ketika dia tertangkap dalam pandangan Alisa juga merupakan sesuatu yang biasa dilihat.

Nama laki-laki itu adalah Karatachibana Mamoru. Seorang siswa di tahun yang sama, Alisa bertemu pertama kali sekitar sebulan yang lalu.

Kelas mereka berbeda, tapi mungkin karena mereka cocok, mereka dengan cepat menjadi teman. Saat ini, mereka cukup dekat untuk belajar bersama seperti ini.

Padahal mereka hanya melakukan ini seminggu sekali, mereka masih belum melakukannya berkali-kali.

Hubungan mereka tidak cukup dalam untuk menjadi pacar.

"....Ngomong-ngomong, aku boleh tanya sesuatu yang sedikit pribadi?"

“Sesuatu yang pribadi....? Tentu, silakan.”

“Juumonji-san, aku mendengar rumor kamu berkencan dengan Kagari-kun dari kelasmu. Apa itu benar?”

Tidak pernah terlintas dalam pikiran Alisa, dia akan menanyakan pertanyaan seperti itu, seperti dia dituduh selingkuh.

Meskipun merasa seperti 'dituduh selingkuh' kesalahpahaman Alisa.

“Kenapa kau menanyakan hal seperti ini?”

“Yah, kupikir jika memang benar kau berkencan, kita harus menahan diri untuk tidak melakukan ini.”

Ditanya balik dengan duri dalam suaranya, Mamoru menjawab dengan nada yang sedikit ragu.

Mamoru hanya bersikap perhatian.

Tapi kali ini, karena alasan yang tidak dia ketahui, Alisa dibuat frustrasi oleh perhatian Mamoru.

"Sepertinya aku salah paham. Bagaimana denganmu, Karatachibana-kun?”

"Eh, apa maksudmu?"

Mamoru dibuat bingung oleh ekspresi jengkel Alisa. Dia sama sekali tidak mengerti mengapa suasana hati Alisa menjadi buruk.

“Jika kamu punya pacar, kita seharusnya tidak belajar bersama lagi.”

"Aku tidak punya pacar, tidak ada yang dekat denganku."

Mamoru menyangkal dengan tergesa-gesa.

“Aku juga tidak. Jika aku punya pacar, aku akan memprioritaskan dia.”

Nada tumpul. Dalam benaknya, Alisa berpikir keras, 'Kenapa melampiaskan amarahku padanya?', ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

"....Aku minta maaf."

"Mengapa kamu minta maaf?"

"Yah, karena .... sepertinya entah bagimana aku membuatmu marah."

Jika Alisa membuatnya mengatakan itu, perasaan bersalahnya secara alami akan menguasai dirinya.

"....Tidak, aku tidak marah."

Mengatakan demikian tanpa melihat wajah Mamoru, Alisa menutup terminalnya.

“Aku merasa kurang enak badan, jadi hari ini aku mau pulang.”

"Huh? Ah, oke.”

"Maaf, sampai jumpa lain waktu."

Meninggalkan Mamoru yang benar-benar bingung, Alisa meninggalkan ruang belajar mandiri.

 

(....Apa itu tadi? Kenapa aku melakukan itu....?)

Kebingungan mungkin lebih besar bagi Alisa daripada Mamoru.

Dia tidak bisa mengerti sama sekali mengapa dia frustrasi dan apa yang membuatnya frustrasi. Bahkan ketika dia memikirkan kembali, dia tidak dapat menemukan satu hal pun dalam percakapan dengan Mamoru yang dapat merusak suasana hatinya.

Ada alasan untuk melampiaskan kemarahan pada orang lain. Ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang kamu inginkan, kamu akan melampiaskan ketidaksenangan pada orang lain untuk mencoba menyingkirkannya. Tapi Alisa tidak bisa memikirkan 'sesuatu' yang membuatnya frustrasi.

Ucapan 'Aku merasa kurang enak badan, jadi hari ini aku mau pulang' sebelumnya hanya alasan untuk meninggalkan tempat duduknya. Dia kabur begitu saja karena tidak tahan dengan dirinya yang absurd. Tetapi ketika dia memikirkan kondisinya lagi, dia benar-benar merasa aneh.

Mungkin akan lebih baik jika dia pulang hari ini?

(....Pokoknya, aku harus pergi ke tempat Mina.)

Bahkan jika dia pulang lebih awal, dia harus memberi tahu Marika terlebih dahulu. Masih membawa kebingungan itu, Alisa menuju ke gimnasium.

Terbakar dengan semangat juang dan mengincar konfrontasi dengan SMA Ketiga —atau tepatnya, Ichijou Akane— Marika dibebani dengan kekhawatiran besar akhir-akhir ini.

Dia tidak memiliki mitra sparring.

Dia tidak sombong. Berbicara secara objektif, selain Presiden Klub dari divisi wanita Kitahata Chika, yang kemampuannya setara atau lebih baik darinya, tidak ada orang lain lagi. Jika kamu terus berlatih melawan orang yang sama, caramu bertarung pada akhirnya akan menjadi bias.

Mempertimbangkan betapa tenangnya di klub, Marika tidak menyuarakan keluhannya tentang hal ini. Tapi, di mata seseorang yang kuat, itu terlihat jelas.

“Tookami-san. Apa kamu ingin berlatih denganku hari ini?"

Di akhir pemanasan, presiden klub divisi putra Chigusa Tadashige memanggil Marika.

"Aku akan berada dalam perawatanmu!"

Secara alami, Marika tidak keberatan. Dia membungkuk dengan kekuatan yang cukup untuk menciptakan angin.

“Aku yang harus bilang itu, santai saja. Apa kita harus melakukannya tanpa teknik bergulat?”

Chigusa mengusulkan sambil tersenyum kepada Marika, yang dengan penuh semangat menerima tawaran itu.

“Tidak, tolong jangan ada batasan!”

Termotivasi sepenuhnya dan dengan wajah 100% dipenuhi semangat juang, Marika dengan cepat mengambil sikap.

"Mi....!"

Hampir berteriak 'Mina!', Alisa dengan tergesa-gesa menutup mulutnya sendiri menggunakan tangannya.

Jika dia tiba-tiba berteriak, dia akan mengganggu latihan mereka. Mengesampingkan, berteriak bisa membuat canggung.

Alisa tahu betul dia tidak cocok untuk menonton seni bela diri. Karena itu, setiap kali dia mengunjungi Marika selama kegiatan klubnya, dia sengaja mempersiapkan diri secara mental. Hari ini juga, dia bermaksud menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri sebelum memasuki gimnasium.

Meski begitu, dia hampir secara refleks berteriak ketika pemandangan Marika dipukuli oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba melompat ke pandangannya.

'Mina diserang!', Alisa disambut dengan panik untuk waktu yang singkat, sepersekian napas. Saat Alisa hampir berteriak, dia menyadari Marika baru saja dipukuli dalam latihan gaya pertarungan. Itu sebabnya dia berhasil menutup mulutnya dengan tangannya.

Laki-laki yang menahan Marika segera pergi saat dia menyatakan keinginannya untuk menyerah dengan ketukan. Begitu dia berdiri dan Alisa melihat wajahnya, Alisa mengerti lawan Marika adalah Presiden Klub divisi putra.

Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, itu konyol, pikir Alisa. Selain kerugian dari siswa tahun pertama melawan siswa tahun ketiga dan wanita melawan pria, lawannya juga Presiden Klub. Tidak mungkin dia bisa menjadi pesaing yang setara.

Ini bukan asumsi yang salah dari pihak Alisa. Setelah itu, Marika terus dihajar oleh Presiden Klub Chigusa.

Merasa gugup saat mengawasi Marika, Alisa melupakan rasa frustrasi dan kekhawatirannya.

 

Tak lama kemudian, peluit berbunyi dan Marika serta Chigusa saling membungkuk. Alisa merasa dia terlalu lama menonton latihan gaya bebas mereka, tetapi secara obyektif, itu terlalu berlebihan.

Alisa menghela nafas panjang, berpegangan pada pagar balkon penonton (lorong penonton yang bentuknya seperti balkon, didirikan setinggi lantai dua), dan berkali-kali menarik napas pendek sambil menunduk. Tanpa sadar ia menahan napas karena khawatir dengan Marika yang gegabah.

Setelah mengatur napasnya, Alisa kembali mengalihkan pandangannya ke Marika. Sambil duduk dalam posisi seiza, Marika sedang berbicara tatap muka dengan Chigusa yang duduk di sebelahnya dengan menyilangkan kaki.

Mungkin dia mendapat bimbingan mengenai aspek-aspek yang harus dia benahi dari sparring tadi, Alisa menyimpulkan. Baik Marika yang dengan sungguh-sungguh menerima instruksi, dan Presiden Klub Chigusa yang melatihnya dengan serius, memiliki sikap yang memberikan kesan baik padanya.

Alisa lupa memanggil mereka dan memandang mereka dengan ramah, namun ekspresinya tiba-tiba menjadi kaku.

Tiba-tiba terdengar tawa, dan Alisa melihat senyuman Marika.

Mereka sedang melakukan aktivitas klub SMA. Tidak peduli seberapa seriusnya mereka, mereka tetap meluangkan waktu untuk bercanda.

Tapi ini pertama kalinya Alisa melihat Marika tersenyum seperti itu.

Senyuman yang memperhatikan tatapan orang lain, senyuman yang sedikit tegang.

Itu bukan sesuatu yang aneh. Dia berbicara empat mata dengan senior di klubnya, terlebih lagi, dengan senpai pria. Dia tidak bisa menunjukkan 'wajah aslinya' seperti saat dia bersama teman sekelas atau orang yang berjenis kelamin sama.

 

(Asha?)

Marika memperhatikan Alisa di balkon selama sparring.

Itu tidak bisa disebut bukti, tapi hal pertama yang diperingatkan padanya selama bimbingan pasca sparring adalah dia gagal bertahan karena perhatiannya terganggu oleh Alisa.

Jadi, saat Alisa memutuskan untuk pergi, Marika langsung sadar.

“Senpai, permisi sebentar!”

Meski bimbingan belum selesai, Marika bergegas berdiri dan menuju pintu keluar gimnasium untuk menghentikan Alisa.

Untungnya – dalam hal ini, bagi Marika, dapat digambarkan sebagai ‘beruntung’ – langkah Alisa lamban. Marika bisa melihat punggung Alisa sebelum meninggalkan gimnasium.

“Asha!”

Bahu Alisa sedikit gemetar mendengar panggilan Marika. Gerakan ragu-ragunya saat dia berbalik juga bukan imajinasi Marika.

“Mina, bukannya kamu masih di tengah latihan?”

Dengan nada suaranya, dia berpura-pura tidak ada yang aneh, tapi telinga Marika tidak bisa tertipu. Suaranya cukup samar sehingga hanya Marika yang tahu, tapi dia jelas-jelas gelisah.

“Aku melihatmu, Asha, jadi aku pergi sebentar.”

"Jadi begitu."

“Asha, apa kamu mau pulang?”

“Ya .... aku merasa sedikit kurang enak badan.”

Bahkan setelah mendengar itu, Marika tidak panik. Dia merasa kurang enak badan mungkin bukan sebuah kebohongan, tapi itu pasti sebuah alasan. Seperti itulah yang terlihat di mata Marika.

“Kalau begitu, kamu seharusnya memberitahuku.”

Tapi dia tidak melakukan apapun seperti langsung mendesaknya untuk mendapatkan jawaban. Meski Marika terlihat seperti tidak memikirkan apapun, dia sama sekali tidak tergesa-gesa.

“Pertarunganmu akan segera tiba, kupikir akan buruk jika aku menyela.”

Alisa menjadi lebih mudah dimengerti dibandingkan sebelumnya, saat dia memaksakan diri untuk tersenyum.

“Asha, seperti yang kubilang, aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian saat kamu sedang kurang enak badan. Tunggu sebentar. Aku akan memberi tahu Presiden aku mau pulang lebih awal.”

“Berhenti, jangan lakukan itu!”

Alisa bingung dan meraih lengan Marika.

Kecemasan terlihat di wajahnya.

"Tapi...."

Marika juga tidak berakting. Menyadari Marika sangat mengkhawatirkannya, Alisa menjadi semakin cemas.

“Aku baik-baik saja setelah istirahat sebentar!”

"Kamu yakin? Benarkah?"

“Ya, benar. Aku akan menunggumu di Einebrise.”

"Oke, Asha. Jangan pulang tanpa bilang dulu.”

Marika menatap mata Alisa.

"Iya."

Alisa tidak bisa menentang tatapannya itu.

Di pinggir jalan sedikit dari jalan utama yang menghubungkan SMA Pertama dan stasiun kereta terdekat terdapat kedai kopi Einebrise. Terdapat juga sebuah kafe dan restoran cepat saji yang menghadap ke jalan sekolah antara SMA Pertama dan stasiun, tempat sebagian besar siswa mampir.

Meski begitu, Einebrise tidak kekurangan pelanggan. Tempat ini diam-diam terkenal karena menjadi kedai kopi tempat Shiba Tatsuya biasa berkunjung, jadi ada pengunjung tetap yang antusias.

Einebrise biasanya seperti itu, tapi saat ini pelanggannya tidak banyak. Mungkin kebetulan hari ini tempat itu kosong, atau mungkin karena akan turun hujan dan pelanggan sudah pergi sebelum hujan mulai turun.

Di kedai yang begitu kosong, Alisa memonopoli konter sendirian. Dengan postur yang agak buruk baginya, sikunya diletakkan di atas meja, lengannya bertumpuk dan salah satu pipinya bertumpu di atas, dia menatap segelas es kopi yang baru saja dia cicipi.

Dia sedang dalam suasana hati lesu, terlihat hampir menghela nafas panjang.

"Apa ada yang salah? Kamu terlihat tidak terlalu sehat.”

Alisa mendengar suara familiar di belakangnya dan perlahan mengangkat tubuhnya.

Dia biasanya memperbaiki postur tubuhnya dengan tergesa-gesa. Alisa benar-benar tidak sehat.

“Izayoi-senpai.”

Dia berbalik, memanggil namanya, dan membungkuk sambil duduk.

"Apa yang terjadi?"

Souma mengangguk untuk membalas Alisa dan mengulangi pertanyaannya.

“Senpai, bukannya kamu bertugas di Komite hari ini?”

Membalas pertanyaan dengan pertanyaan lain, Alisa menolak menjawab pertanyaan Souma.

“Tadi cuma patroli, jadi aku sudah selesai.”

“Tapi aku yakin masih ada waktu sampai pintu masuk utama ditutup.”

Souma tersenyum masam mendengar perkataan Alisa yang penuh nuansa celaan.

“Sepertinya kamu salah paham, Juumonji-san, kamu tidak berkewajiban untuk melanjutkan sampai sekolah tutup. Ini bukan pekerjaan.”

“Tapi kupikir patroli tugas Komite Moral Publik?”

Alisa bertanya balik, dengan ekspresi ragu.

Souma menggelengkan kepalanya untuk mengatakan, 'Bukan itu masalahnya.'

“Kami bukan staf sekolah, kami siswa. Tugas kita adalah teliti dalam belajar, Komite adalah kegiatan ekstrakurikuler. Kamu tidak boleh mengabaikannya, tetapi kamu tidak perlu terlalu terikat padanya.”

Karena terkejut, ekspresi Alisa hilang dari wajahnya. Itu bukan tampilan tanpa ekspresi, tapi tanpa pertahanan.

“....Yuuto-san selalu tinggal sampai akhir.”

Alisa membutuhkan beberapa detik untuk pulih dan berhasil memberikan bantahan.

“Dewan Siswa memang gila kerja karena tradisinya. Menurutku melakukan semuanya sendiri tidak baik untuk siswa lain. Jika peminat diberikan segalanya, kesadaran mereka tidak akan berkembang.”

“Aku bisa memahaminya, tapi....”

Alisa menyipitkan matanya ke arah Souma.

Dia tidak tersenyum. Dia kagum.

“Senpai, kamu tidak mengatakan sesuatu yang dapat dipercaya sebagai alasan untuk tidak melakukan pekerjaanmu, kan?”

"Tidak. Mulailah dengan langkah pertama, kan?”

“....”

Ungkapan 'mulailah dengan langkah pertama' juga digunakan sebagai arti ‘Siapa pun yang menyarankannya harus mempraktikkannya’. Karena hanya sedikit siswa yang tinggal hingga larut malam dan mengerjakan semua tugas Dewan Siswa, siswa yang lain menjadi apatis terhadapnya. Untuk memperbaiki situasi ini, dia berinisiatif untuk pergi lebih awal. – Mungkin itu yang ingin Souma katakan.

Namun, pekerjaan Komite Moral Publik, mirip dengan persiapan Kompetisi Sembilan Sekolah, bukan sesuatu yang dapat dilakukan dengan membagi beban kerja kepada sekelompok besar orang. Bagi Alisa, sepertinya klaim Souma hanya menyesatkan.

“Sepertinya kamu sudah merasa sedikit lebih baik, huh.”

Souma tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.

Mungkin dia sendiri menganggap itu sebagai pernyataan yang tidak masuk akal. Mungkin juga dia merasa dipandang buruk karena tatapan curiga Alisa, jadi dia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Tapi ketika Souma menunjukkannya, Alisa menyadari perasaan tidak enak yang tak teridentifikasi di dalam dirinya mulai memudar. Dia merasa lebih nyaman, tidak diragukan lagi karena Souma.

Karena itu, jauh di lubuk hatinya, Alisa hanya sedikit bersyukur.

Marika bergabung dengan Alisa dan mereka segera meninggalkan Einebrise. Begitu dia melihat Souma ada di sana, Marika menyeret Alisa keluar dari sana.

“Asha, apa yang kamu bicarakan dengan Izayoi-senpai? Dia tidak mengatakan sesuatu yang aneh, kan?”

Marika bertanya pada Alisa begitu Cabinet berangkat.

Seperti biasa, Marika mempunyai opini buruk tentang Souma.

“Ada yang aneh....”

Alisa secara naluri memikirkannya. Itu bukan ‘ada yang aneh’ seperti yang ditanyakan Marika, tapi logika dalam argumen Souma sangat ‘aneh’.

"Aku tahu itu!"

Marika marah. Mengingat siapa dia, jelas dia akan marah.

“Ah, dia tidak mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan.”

Alisa buru-buru menambahkan, tidak ingin menanam benih kesalahpahaman pada Marika.

"Benarkah?"

"Ya. Argumen logis baginya untuk mengakhiri tugas patroli lebih awal .... atau menurutku itu lebih seperti alasan.”

Setelah memulainya, Alisa memberi tahu Marika apa yang Souma katakan, mengulangi kata-katanya dengan hampir sempurna.

“Hmm .... dia mengatakan sesuatu yang sangat bagus.”

Tak disangka, Marika terlihat bersimpati pada Souma.

“Jadi menurutmu itu bagus, Mina?”

'Oh sial!' muncul di wajah Marika.

Setelah itu, dia pasti berusaha terlihat tenang, karena anehnya wajahnya menjadi kaku.

“Tidak, menurutku apa yang Izayoi-senpai katakan cuma sebuah alasan.”

Marika sendiri mungkin bermaksud untuk berbicara dengan tenang, tapi Alisa bisa melihat dengan jelas kepanikan sahabatnya.

(Kamu tidak perlu terlalu khawatir....)

Ketika Marika memuji Souma, Alisa tidak salah mengartikannya sebagai 'Marika menyukai Souma'. Alisa tahu Marika menganggap Souma sebagai orang yang 'mencurigakan'.

“Aku baru berpikir apa salah jika hanya anggota Dewan Siswa dan Komite yang tinggal sampai larut malam, terpaksa mengerjakan semua pekerjaan, sedangkan siswa lain cuek. Kupikir lingkungan di mana sebagian orang hanya diberi semua manfaat tanpa membayar biaya apapun akan membuat orang menjadi tidak berguna.”

Alisa juga berpendapat secara teori hal tersebut benar.

Namun argumen apapun yang digunakan, kapan pun dan di mana pun argumen tersebut diungkapkan, argumen tersebut tetap dianggap sebagai sofisme.

Oleh karena itu, Alisa tidak bisa bersimpati dengan alasan Souma seperti Marika.

“Lebih penting lagi, apa kamu merasa lebih baik sekarang?”

Mungkin dia sadar sedang menggali lubang, Marika tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

“Aku merasa lebih baik dari sebelumnya.”

Alisa tidak bingung. Bukan suatu kebohongan dia merasa tidak enak badan atau keadaannya membaik. Frustrasi, kekhawatiran, dan rasa terkejut tak teridentifikasi yang dialaminya, kemungkinan besar disebabkan karena dia sangat kelelahan secara mental.

Bahkan saat ini, dia belum bisa mengatakan dia memiliki pemahaman akurat tentang kondisinya sendiri. Tapi dia tahu kepalanya terasa lebih ringan. Obrolannya dengan Souma menjadi titik awal, walau Alisa enggan mengakuinya.

"Aku senang. Tapi apa penyebabnya?”

“Aku tidak tahu, tapi....”

Diminta oleh Marika, Alisa mencari ingatannya.

“....Aku sedang berbicara dengan Karatachibana-kun ketika aku tiba-tiba merasa sakit.”

Mata Marika berbinar, merasa seperti berkata ‘Ooh!?’.

Alisa begitu tenggelam dalam pikirannya sehingga dia tidak memperhatikan ekspresi Marika, yang terlihat senang dengan kesedihan sahabatnya dan membocorkan ekspektasinya, tidak mampu menyembunyikannya.

“Apa yang kamu bicarakan?”

“Dia tidak mengatakan hal buruk. Dia baru saja bertanya tentang Kagari-kun, lalu—”

“Maksudmu tentang rumor kamu pacaran dengan Kagari-kun?”

“Ya, tentang itu.”

“Lalu, apa yang dia katakan?”

“Jika kami berpacaran, kami tidak boleh belajar bersama.”

Alisa tidak memberi tahu Marika tentang pertanyaannya kepada Mamoru mengenai hubungannya dengan perempuan.

Dia bahkan tidak sadar kalau menyembunyikan hal itu.

Di sisi lain, tanpa sadar Marika sedikit, mengangkat sudut mulutnya.

Dari perkataan Alisa tadi, Mamoru berpikir kalau Alisa punya pacar sebaiknya dia menjaga jarak.

Artinya, sampai saat ini, perasaannya terhadap Alisa tidak lebih kuat dari itu.

Bagi Marika yang menganggap Mamoru sebagai orang yang paling bermasalah, ini berita bagus.

“Hei, Asha.”

Ketika salah satu kekhawatirannya hilang, Marika terbawa suasana.

“Sebelumnya, saat kamu mencoba pulang tanpa mengatakan apapun, bukankah itu karena aku sedang berbicara tatap muka dengan Chigusa-senpai?”

“Eh!?”

“Mungkin, apa kamu cemburu?”

"Huh? Apa yang kamu katakan?"

Tapi yang dia dapatkan hanya reaksi dingin.

Mereka berdua mengucapkan “Selamat malam” sambil tersenyum, dia mengakhiri video call dengan Marika yang sudah menjadi rutinitas malamnya.

Namun setelah layarnya padam, ekspresi Alisa menjadi muram.

(Aku melakukan sesuatu yang buruk pada Mina hari ini....)

Apa yang dia pikirkan kembali adalah perilakunya di dalam Cabinet.

Meskipun itu sahabatnya yang riang, sikapnya saat itu sangat buruk .... meski Alisa tidak berpikir dia 100% salah. Dia bukan seorang masokis yang suka menghukum diri sendiri.

Pertama, persoalan di dalam Cabinet disebabkan oleh pertanyaan tidak peka Marika, ‘apa kamu cemburu?’.

Tapi – meski kurang enak, itu tidak melenceng.

Ketika dia mencoba meninggalkan gimnasium tanpa mengatakan apapun, jauh di dalam dirinya, ada juga rasa cemburu.

Dia menjadi cemburu, dia melampiaskan amarahnya dalam hati, karena tidak bisa melupakannya, dia lari dari tempat itu. Dia sekarang mengerti semua itu.

Tidak, sebenarnya, saat itu dia mengetahuinya. Dia hanya mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi dia memahaminya jauh di dalam hatinya.

Kemarahan dia lampiaskan pada Mamoru.

Meski tidak memiliki pacar, dia bukan wanita yang mudah menghabiskan terlalu banyak waktu sendirian dengan lawan jenis. Kenapa dia tidak memahaminya? Alisa memikirkan itu. Dia sebenarnya mengucapkannya dengan lantang sebagai balasan kepada Mamoru, tapi itu saja tidak menenangkan amarahnya.

(Tapi kenapa aku begitu kesal....?)

Sudah menjadi sifatnya, dia tidak agresif terhadap orang lain. Dia berpikir perasaan orang lain mungkin bisa terluka, karena itu dia ragu-ragu. Berbicara secara kasar dan melampiaskan kekesalannya pada seseorang bukan pola perilakunya yang biasa.

Alisa tidak menganggap dirinya sebagai gadis pemalu yang bahkan tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan. Dia juga memiliki kenangan masa lalu ketika membuat pernyataan yang bertentangan dengan suasana hatinya.

Namun berbeda saat dengan Mamoru. Itu bukan seperti dia.

Penyesalan itu melingkari hati Alisa.

(Meskipun aku tidak perlu terlalu agresif)

Itu situasi di mana, jika dia berbicara lebih tenang, mereka bisa saja menertawakannya. Jika itu yang terjadi, itu tidak akan menjadi tindakan seperti pasangan yang bertengkar dan putus asa, itu akan menjadi hal biasa setelah jam pulang sekolah.

(Mengapa aku bertindak seperti itu?)

(Aku ingin tahu apa Karatachibana-kun menganggapku sebagai gadis yang tidak menyenangkan....)

Sebelum dia menyadarinya, pikiran Alisa berpindah dari rasa bersalahnya terhadap Marika ke penyesalannya terhadap Mamoru.

Alisa tidak menyadarinya.

Post a Comment

0 Comments