Para Gadis yang Khawatir
Karena Klub Seni Bela Diri dan Klub Crowd Ball memiliki hari
yang berbeda, Alisa perlu menghabiskan waktu di suatu tempat di sekolah sampai
kegiatan klub Marika berakhir setiap hari Senin. Alisa menggunakan waktunya
untuk belajar sendiri di perpustakaan.
Senin, 15 Juni, sepulang sekolah. Minggu ini Alisa juga mengunjungi
ruang belajar mandiri perpustakaan.
Dia meminjam terminal di resepsionis untuk menggunakan
internet sekolah dan mencari tempat duduk. Untungnya, kursi yang dia gunakan
setiap minggu masih kosong. Tempat duduk di ruang belajar mandiri tidak tetap, tapi
pengunjung cenderung memilih tempat duduk yang sama setiap saat. Selain itu,
penggunanya memiliki hari dan waktu yang tetap.
Alisa membuka terminal, lalu begitu dia selesai mengkonfirmasi
ID miliknya, sebuah suara di sebelahnya memanggilnya, bertanya "Aku boleh
duduk di sini?". Itu suara laki-laki yang sudah dikenalnya.
"Ya, silakan."
Alisa menanggapi sambil memutar kepalanya. Seperti yang dia
duga, orang yang berdiri di sana adalah seorang siswa di tahun yang sama
dengannya.
"Permisi."
Laki-laki itu dengan hati-hati menjawab sambil duduk.
Senyum malu-malu yang muncul di wajahnya ketika dia tertangkap
dalam pandangan Alisa juga merupakan sesuatu yang biasa dilihat.
Nama laki-laki itu adalah Karatachibana Mamoru. Seorang siswa
di tahun yang sama, Alisa bertemu pertama kali sekitar sebulan yang lalu.
Kelas mereka berbeda, tapi mungkin karena mereka cocok, mereka
dengan cepat menjadi teman. Saat ini, mereka cukup dekat untuk belajar bersama
seperti ini.
Padahal mereka hanya melakukan ini seminggu sekali, mereka
masih belum melakukannya berkali-kali.
Hubungan mereka tidak cukup dalam untuk menjadi pacar.
"....Ngomong-ngomong, aku boleh tanya sesuatu yang
sedikit pribadi?"
“Sesuatu yang pribadi....? Tentu, silakan.”
“Juumonji-san, aku mendengar rumor kamu berkencan dengan
Kagari-kun dari kelasmu. Apa itu benar?”
Tidak pernah terlintas dalam pikiran Alisa, dia akan
menanyakan pertanyaan seperti itu, seperti dia dituduh selingkuh.
Meskipun merasa seperti 'dituduh selingkuh' kesalahpahaman
Alisa.
“Kenapa kau menanyakan hal seperti ini?”
“Yah, kupikir jika memang benar kau berkencan, kita harus
menahan diri untuk tidak melakukan ini.”
Ditanya balik dengan duri dalam suaranya, Mamoru menjawab
dengan nada yang sedikit ragu.
Mamoru hanya bersikap perhatian.
Tapi kali ini, karena alasan yang tidak dia ketahui, Alisa dibuat
frustrasi oleh perhatian Mamoru.
"Sepertinya aku salah paham. Bagaimana denganmu,
Karatachibana-kun?”
"Eh, apa maksudmu?"
Mamoru dibuat bingung oleh ekspresi jengkel Alisa. Dia sama
sekali tidak mengerti mengapa suasana hati Alisa menjadi buruk.
“Jika kamu punya pacar, kita seharusnya tidak belajar bersama
lagi.”
"Aku tidak punya pacar, tidak ada yang dekat denganku."
Mamoru menyangkal dengan tergesa-gesa.
“Aku juga tidak. Jika aku punya pacar, aku akan
memprioritaskan dia.”
Nada tumpul. Dalam benaknya, Alisa berpikir keras, 'Kenapa
melampiaskan amarahku padanya?', ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
"....Aku minta maaf."
"Mengapa kamu minta maaf?"
"Yah, karena .... sepertinya entah bagimana aku membuatmu
marah."
Jika Alisa membuatnya mengatakan itu, perasaan bersalahnya
secara alami akan menguasai dirinya.
"....Tidak, aku tidak marah."
Mengatakan demikian tanpa melihat wajah Mamoru, Alisa menutup
terminalnya.
“Aku merasa kurang enak badan, jadi hari ini aku mau pulang.”
"Huh? Ah, oke.”
"Maaf, sampai jumpa lain waktu."
Meninggalkan Mamoru yang benar-benar bingung, Alisa
meninggalkan ruang belajar mandiri.
(....Apa itu tadi? Kenapa aku melakukan itu....?)
Kebingungan mungkin lebih besar bagi Alisa daripada Mamoru.
Dia tidak bisa mengerti sama sekali mengapa dia frustrasi dan
apa yang membuatnya frustrasi. Bahkan ketika dia memikirkan kembali, dia tidak
dapat menemukan satu hal pun dalam percakapan dengan Mamoru yang dapat merusak
suasana hatinya.
Ada alasan untuk melampiaskan kemarahan pada orang lain.
Ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang kamu inginkan, kamu akan
melampiaskan ketidaksenangan pada orang lain untuk mencoba menyingkirkannya.
Tapi Alisa tidak bisa memikirkan 'sesuatu' yang membuatnya frustrasi.
Ucapan 'Aku merasa kurang enak badan, jadi hari ini aku mau
pulang' sebelumnya hanya alasan untuk meninggalkan tempat duduknya. Dia kabur
begitu saja karena tidak tahan dengan dirinya yang absurd. Tetapi ketika dia
memikirkan kondisinya lagi, dia benar-benar merasa aneh.
Mungkin akan lebih baik jika dia pulang hari ini?
(....Pokoknya, aku harus pergi ke tempat Mina.)
Bahkan jika dia pulang lebih awal, dia harus memberi tahu
Marika terlebih dahulu. Masih membawa kebingungan itu, Alisa menuju ke
gimnasium.
◇ ◇ ◇
Terbakar dengan semangat juang dan mengincar konfrontasi
dengan SMA Ketiga —atau tepatnya, Ichijou Akane— Marika dibebani dengan
kekhawatiran besar akhir-akhir ini.
Dia tidak memiliki mitra sparring.
Dia tidak sombong. Berbicara secara objektif, selain Presiden
Klub dari divisi wanita Kitahata Chika, yang kemampuannya setara atau lebih baik
darinya, tidak ada orang lain lagi. Jika kamu terus berlatih melawan orang yang
sama, caramu bertarung pada akhirnya akan menjadi bias.
Mempertimbangkan betapa tenangnya di klub, Marika tidak
menyuarakan keluhannya tentang hal ini. Tapi, di mata seseorang yang kuat, itu terlihat
jelas.
“Tookami-san. Apa kamu ingin berlatih denganku hari ini?"
Di akhir pemanasan, presiden klub divisi putra Chigusa
Tadashige memanggil Marika.
"Aku akan berada dalam perawatanmu!"
Secara alami, Marika tidak keberatan. Dia membungkuk dengan
kekuatan yang cukup untuk menciptakan angin.
“Aku yang harus bilang itu, santai saja. Apa kita harus melakukannya
tanpa teknik bergulat?”
Chigusa mengusulkan sambil tersenyum kepada Marika, yang
dengan penuh semangat menerima tawaran itu.
“Tidak, tolong jangan ada batasan!”
Termotivasi sepenuhnya dan dengan wajah 100% dipenuhi semangat
juang, Marika dengan cepat mengambil sikap.
◇ ◇ ◇
"Mi....!"
Hampir berteriak 'Mina!', Alisa dengan tergesa-gesa menutup
mulutnya sendiri menggunakan tangannya.
Jika dia tiba-tiba berteriak, dia akan mengganggu latihan
mereka. Mengesampingkan, berteriak bisa membuat canggung.
Alisa tahu betul dia tidak cocok untuk menonton seni bela
diri. Karena itu, setiap kali dia mengunjungi Marika selama kegiatan klubnya,
dia sengaja mempersiapkan diri secara mental. Hari ini juga, dia bermaksud
menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri sebelum memasuki gimnasium.
Meski begitu, dia hampir secara refleks berteriak ketika
pemandangan Marika dipukuli oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba melompat ke
pandangannya.
'Mina diserang!', Alisa disambut dengan panik untuk waktu yang
singkat, sepersekian napas. Saat Alisa hampir berteriak, dia menyadari Marika
baru saja dipukuli dalam latihan gaya pertarungan. Itu sebabnya dia berhasil
menutup mulutnya dengan tangannya.
Laki-laki yang menahan Marika segera pergi saat dia menyatakan
keinginannya untuk menyerah dengan ketukan. Begitu dia berdiri dan Alisa
melihat wajahnya, Alisa mengerti lawan Marika adalah Presiden Klub divisi
putra.
Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, itu konyol, pikir
Alisa. Selain kerugian dari siswa tahun pertama melawan siswa tahun ketiga dan wanita
melawan pria, lawannya juga Presiden Klub. Tidak mungkin dia bisa menjadi
pesaing yang setara.
Ini bukan asumsi yang salah dari pihak Alisa. Setelah itu,
Marika terus dihajar oleh Presiden Klub Chigusa.
Merasa gugup saat mengawasi Marika, Alisa melupakan rasa
frustrasi dan kekhawatirannya.
Tak lama kemudian, peluit berbunyi dan Marika serta Chigusa
saling membungkuk. Alisa merasa dia terlalu lama menonton latihan gaya bebas
mereka, tetapi secara obyektif, itu terlalu berlebihan.
Alisa menghela nafas panjang, berpegangan pada pagar balkon
penonton (lorong penonton yang bentuknya seperti balkon, didirikan setinggi
lantai dua), dan berkali-kali menarik napas pendek sambil menunduk. Tanpa sadar
ia menahan napas karena khawatir dengan Marika yang gegabah.
Setelah mengatur napasnya, Alisa kembali mengalihkan
pandangannya ke Marika. Sambil duduk dalam posisi seiza, Marika sedang berbicara
tatap muka dengan Chigusa yang duduk di sebelahnya dengan menyilangkan kaki.
Mungkin dia mendapat bimbingan mengenai aspek-aspek yang harus
dia benahi dari sparring tadi, Alisa menyimpulkan.
Baik Marika yang dengan sungguh-sungguh menerima instruksi, dan Presiden Klub
Chigusa yang melatihnya dengan serius, memiliki sikap yang memberikan kesan
baik padanya.
Alisa lupa memanggil mereka dan memandang mereka dengan ramah,
namun ekspresinya tiba-tiba menjadi kaku.
Tiba-tiba terdengar tawa, dan Alisa melihat senyuman Marika.
Mereka sedang melakukan aktivitas klub SMA. Tidak peduli
seberapa seriusnya mereka, mereka tetap meluangkan waktu untuk bercanda.
Tapi ini pertama kalinya Alisa melihat Marika tersenyum
seperti itu.
Senyuman yang memperhatikan tatapan orang lain, senyuman yang
sedikit tegang.
Itu bukan sesuatu yang aneh. Dia berbicara empat mata dengan
senior di klubnya, terlebih lagi, dengan senpai pria. Dia tidak bisa
menunjukkan 'wajah aslinya' seperti saat dia bersama teman sekelas atau orang
yang berjenis kelamin sama.
(Asha?)
Marika memperhatikan Alisa di balkon selama sparring.
Itu tidak bisa disebut bukti, tapi hal pertama yang
diperingatkan padanya selama bimbingan pasca sparring adalah dia gagal bertahan karena perhatiannya terganggu
oleh Alisa.
Jadi, saat Alisa memutuskan untuk pergi, Marika langsung
sadar.
“Senpai, permisi sebentar!”
Meski bimbingan belum selesai, Marika bergegas berdiri dan
menuju pintu keluar gimnasium untuk menghentikan Alisa.
Untungnya – dalam hal ini, bagi Marika, dapat digambarkan
sebagai ‘beruntung’ – langkah Alisa lamban. Marika bisa melihat punggung Alisa
sebelum meninggalkan gimnasium.
“Asha!”
Bahu Alisa sedikit gemetar mendengar panggilan Marika. Gerakan
ragu-ragunya saat dia berbalik juga bukan imajinasi Marika.
“Mina, bukannya kamu masih di tengah latihan?”
Dengan nada suaranya, dia berpura-pura tidak ada yang aneh,
tapi telinga Marika tidak bisa tertipu. Suaranya cukup samar sehingga hanya
Marika yang tahu, tapi dia jelas-jelas gelisah.
“Aku melihatmu, Asha, jadi aku pergi sebentar.”
"Jadi begitu."
“Asha, apa kamu mau pulang?”
“Ya .... aku merasa sedikit kurang enak badan.”
Bahkan setelah mendengar itu, Marika tidak panik. Dia merasa kurang
enak badan mungkin bukan sebuah kebohongan, tapi itu pasti sebuah alasan.
Seperti itulah yang terlihat di mata Marika.
“Kalau begitu, kamu seharusnya memberitahuku.”
Tapi dia tidak melakukan apapun seperti langsung mendesaknya
untuk mendapatkan jawaban. Meski Marika terlihat seperti tidak memikirkan apapun,
dia sama sekali tidak tergesa-gesa.
“Pertarunganmu akan segera tiba, kupikir akan buruk jika aku
menyela.”
Alisa menjadi lebih mudah dimengerti dibandingkan sebelumnya,
saat dia memaksakan diri untuk tersenyum.
“Asha, seperti yang kubilang, aku tidak bisa membiarkanmu
pulang sendirian saat kamu sedang kurang enak badan. Tunggu sebentar. Aku akan
memberi tahu Presiden aku mau pulang lebih awal.”
“Berhenti, jangan lakukan itu!”
Alisa bingung dan meraih lengan Marika.
Kecemasan terlihat di wajahnya.
"Tapi...."
Marika juga tidak berakting. Menyadari Marika sangat
mengkhawatirkannya, Alisa menjadi semakin cemas.
“Aku baik-baik saja setelah istirahat sebentar!”
"Kamu yakin? Benarkah?"
“Ya, benar. Aku akan menunggumu di Einebrise.”
"Oke, Asha. Jangan pulang tanpa bilang dulu.”
Marika menatap mata Alisa.
"Iya."
Alisa tidak bisa menentang tatapannya itu.
◇ ◇ ◇
Di pinggir jalan sedikit dari jalan utama yang menghubungkan SMA
Pertama dan stasiun kereta terdekat terdapat kedai kopi Einebrise. Terdapat
juga sebuah kafe dan restoran cepat saji yang menghadap ke jalan sekolah antara
SMA Pertama dan stasiun, tempat sebagian besar siswa mampir.
Meski begitu, Einebrise tidak kekurangan pelanggan. Tempat ini
diam-diam terkenal karena menjadi kedai kopi tempat Shiba Tatsuya biasa
berkunjung, jadi ada pengunjung tetap yang antusias.
Einebrise biasanya seperti itu, tapi saat ini pelanggannya
tidak banyak. Mungkin kebetulan hari ini tempat itu kosong, atau mungkin karena
akan turun hujan dan pelanggan sudah pergi sebelum hujan mulai turun.
Di kedai yang begitu kosong, Alisa memonopoli konter
sendirian. Dengan postur yang agak buruk baginya, sikunya diletakkan di atas
meja, lengannya bertumpuk dan salah satu pipinya bertumpu di atas, dia menatap
segelas es kopi yang baru saja dia cicipi.
Dia sedang dalam suasana hati lesu, terlihat hampir menghela
nafas panjang.
"Apa ada yang salah? Kamu terlihat tidak terlalu sehat.”
Alisa mendengar suara familiar di belakangnya dan perlahan
mengangkat tubuhnya.
Dia biasanya memperbaiki postur tubuhnya dengan tergesa-gesa.
Alisa benar-benar tidak sehat.
“Izayoi-senpai.”
Dia berbalik, memanggil namanya, dan membungkuk sambil duduk.
"Apa yang terjadi?"
Souma mengangguk untuk membalas Alisa dan mengulangi
pertanyaannya.
“Senpai, bukannya kamu bertugas di Komite hari ini?”
Membalas pertanyaan dengan pertanyaan lain, Alisa menolak
menjawab pertanyaan Souma.
“Tadi cuma patroli, jadi aku sudah selesai.”
“Tapi aku yakin masih ada waktu sampai pintu masuk utama
ditutup.”
Souma tersenyum masam mendengar perkataan Alisa yang penuh
nuansa celaan.
“Sepertinya kamu salah paham, Juumonji-san, kamu tidak berkewajiban
untuk melanjutkan sampai sekolah tutup. Ini bukan pekerjaan.”
“Tapi kupikir patroli tugas Komite Moral Publik?”
Alisa bertanya balik, dengan ekspresi ragu.
Souma menggelengkan kepalanya untuk mengatakan, 'Bukan itu
masalahnya.'
“Kami bukan staf sekolah, kami siswa. Tugas kita adalah teliti
dalam belajar, Komite adalah kegiatan ekstrakurikuler. Kamu tidak boleh
mengabaikannya, tetapi kamu tidak perlu terlalu terikat padanya.”
Karena terkejut, ekspresi Alisa hilang dari wajahnya. Itu
bukan tampilan tanpa ekspresi, tapi tanpa pertahanan.
“....Yuuto-san selalu tinggal sampai akhir.”
Alisa membutuhkan beberapa detik untuk pulih dan berhasil
memberikan bantahan.
“Dewan Siswa memang gila kerja karena tradisinya. Menurutku
melakukan semuanya sendiri tidak baik untuk siswa lain. Jika peminat diberikan
segalanya, kesadaran mereka tidak akan berkembang.”
“Aku bisa memahaminya, tapi....”
Alisa menyipitkan matanya ke arah Souma.
Dia tidak tersenyum. Dia kagum.
“Senpai, kamu tidak mengatakan sesuatu yang dapat dipercaya
sebagai alasan untuk tidak melakukan pekerjaanmu, kan?”
"Tidak. Mulailah dengan langkah pertama, kan?”
“....”
Ungkapan 'mulailah dengan langkah pertama' juga digunakan sebagai
arti ‘Siapa pun yang menyarankannya harus mempraktikkannya’. Karena hanya
sedikit siswa yang tinggal hingga larut malam dan mengerjakan semua tugas Dewan
Siswa, siswa yang lain menjadi apatis terhadapnya. Untuk memperbaiki situasi
ini, dia berinisiatif untuk pergi lebih awal. – Mungkin itu yang ingin Souma
katakan.
Namun, pekerjaan Komite Moral Publik, mirip dengan persiapan
Kompetisi Sembilan Sekolah, bukan sesuatu yang dapat dilakukan dengan membagi
beban kerja kepada sekelompok besar orang. Bagi Alisa, sepertinya klaim Souma
hanya menyesatkan.
“Sepertinya kamu sudah merasa sedikit lebih baik, huh.”
Souma tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
Mungkin dia sendiri menganggap itu sebagai pernyataan yang
tidak masuk akal. Mungkin juga dia merasa dipandang buruk karena tatapan curiga
Alisa, jadi dia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Tapi ketika Souma menunjukkannya, Alisa menyadari perasaan
tidak enak yang tak teridentifikasi di dalam dirinya mulai memudar. Dia merasa
lebih nyaman, tidak diragukan lagi karena Souma.
Karena
itu, jauh di lubuk hatinya, Alisa hanya sedikit bersyukur.
◇ ◇ ◇
Marika bergabung dengan Alisa dan mereka segera meninggalkan
Einebrise. Begitu dia melihat Souma ada di sana, Marika menyeret Alisa keluar
dari sana.
“Asha, apa yang kamu bicarakan dengan Izayoi-senpai? Dia tidak
mengatakan sesuatu yang aneh, kan?”
Marika bertanya pada Alisa begitu Cabinet berangkat.
Seperti biasa, Marika mempunyai opini buruk tentang Souma.
“Ada yang aneh....”
Alisa secara naluri memikirkannya. Itu bukan ‘ada yang aneh’
seperti yang ditanyakan Marika, tapi logika dalam argumen Souma sangat ‘aneh’.
"Aku tahu itu!"
Marika marah. Mengingat siapa dia, jelas dia akan marah.
“Ah, dia tidak mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan.”
Alisa buru-buru menambahkan, tidak ingin menanam benih
kesalahpahaman pada Marika.
"Benarkah?"
"Ya. Argumen logis baginya untuk mengakhiri tugas patroli
lebih awal .... atau menurutku itu lebih seperti alasan.”
Setelah memulainya, Alisa memberi tahu Marika apa yang Souma
katakan, mengulangi kata-katanya dengan hampir sempurna.
“Hmm .... dia mengatakan sesuatu yang sangat bagus.”
Tak disangka, Marika terlihat bersimpati pada Souma.
“Jadi menurutmu itu bagus, Mina?”
'Oh sial!' muncul di wajah Marika.
Setelah itu, dia pasti berusaha terlihat tenang, karena
anehnya wajahnya menjadi kaku.
“Tidak, menurutku apa yang Izayoi-senpai katakan cuma sebuah
alasan.”
Marika sendiri mungkin bermaksud untuk berbicara dengan
tenang, tapi Alisa bisa melihat dengan jelas kepanikan sahabatnya.
(Kamu tidak perlu terlalu khawatir....)
Ketika Marika memuji Souma, Alisa tidak salah mengartikannya
sebagai 'Marika menyukai Souma'. Alisa tahu Marika menganggap Souma sebagai
orang yang 'mencurigakan'.
“Aku baru berpikir apa salah jika hanya anggota Dewan Siswa
dan Komite yang tinggal sampai larut malam, terpaksa mengerjakan semua
pekerjaan, sedangkan siswa lain cuek. Kupikir lingkungan di mana sebagian orang
hanya diberi semua manfaat tanpa membayar biaya apapun akan membuat orang
menjadi tidak berguna.”
Alisa juga berpendapat secara teori hal tersebut benar.
Namun argumen apapun yang digunakan, kapan pun dan di mana pun
argumen tersebut diungkapkan, argumen tersebut tetap dianggap sebagai sofisme.
Oleh karena itu, Alisa tidak bisa bersimpati dengan alasan
Souma seperti Marika.
“Lebih penting lagi, apa kamu merasa lebih baik sekarang?”
Mungkin
dia sadar sedang menggali lubang, Marika tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.
“Aku merasa lebih baik dari sebelumnya.”
Alisa tidak bingung. Bukan suatu kebohongan dia merasa tidak
enak badan atau keadaannya membaik. Frustrasi, kekhawatiran, dan rasa terkejut tak
teridentifikasi yang dialaminya, kemungkinan besar disebabkan karena dia sangat
kelelahan secara mental.
Bahkan saat ini, dia belum bisa mengatakan dia memiliki pemahaman
akurat tentang kondisinya sendiri. Tapi dia tahu kepalanya terasa lebih ringan.
Obrolannya dengan Souma menjadi titik awal, walau Alisa enggan mengakuinya.
"Aku senang. Tapi apa penyebabnya?”
“Aku tidak tahu, tapi....”
Diminta oleh Marika, Alisa mencari ingatannya.
“....Aku sedang berbicara dengan Karatachibana-kun ketika aku
tiba-tiba merasa sakit.”
Mata Marika berbinar, merasa seperti berkata ‘Ooh!?’.
Alisa begitu tenggelam dalam pikirannya sehingga dia tidak
memperhatikan ekspresi Marika, yang terlihat senang dengan kesedihan sahabatnya
dan membocorkan ekspektasinya, tidak mampu menyembunyikannya.
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Dia tidak mengatakan hal buruk. Dia baru saja bertanya
tentang Kagari-kun, lalu—”
“Maksudmu tentang rumor kamu pacaran dengan Kagari-kun?”
“Ya, tentang itu.”
“Lalu, apa yang dia katakan?”
“Jika kami berpacaran, kami tidak boleh belajar bersama.”
Alisa tidak memberi tahu Marika tentang pertanyaannya kepada
Mamoru mengenai hubungannya dengan perempuan.
Dia bahkan tidak sadar kalau menyembunyikan hal itu.
Di sisi lain, tanpa sadar Marika sedikit, mengangkat sudut
mulutnya.
Dari perkataan Alisa tadi, Mamoru berpikir kalau Alisa punya
pacar sebaiknya dia menjaga jarak.
Artinya, sampai saat ini, perasaannya terhadap Alisa tidak
lebih kuat dari itu.
Bagi Marika yang menganggap Mamoru sebagai orang yang paling
bermasalah, ini berita bagus.
“Hei, Asha.”
Ketika salah satu kekhawatirannya hilang, Marika terbawa
suasana.
“Sebelumnya, saat kamu mencoba pulang tanpa mengatakan apapun,
bukankah itu karena aku sedang berbicara tatap muka dengan Chigusa-senpai?”
“Eh!?”
“Mungkin, apa kamu cemburu?”
"Huh? Apa yang kamu katakan?"
Tapi yang dia dapatkan hanya reaksi dingin.
◇ ◇ ◇
Mereka berdua mengucapkan “Selamat malam” sambil tersenyum,
dia mengakhiri video call dengan
Marika yang sudah menjadi rutinitas malamnya.
Namun setelah layarnya padam, ekspresi Alisa menjadi muram.
(Aku melakukan sesuatu yang buruk pada Mina hari ini....)
Apa yang dia pikirkan kembali adalah perilakunya di dalam Cabinet.
Meskipun itu sahabatnya yang riang, sikapnya saat itu sangat
buruk .... meski Alisa tidak berpikir dia 100% salah. Dia bukan seorang masokis
yang suka menghukum diri sendiri.
Pertama, persoalan di dalam Cabinet disebabkan oleh pertanyaan
tidak peka Marika, ‘apa kamu cemburu?’.
Tapi – meski kurang enak, itu tidak melenceng.
Ketika dia mencoba meninggalkan gimnasium tanpa mengatakan apapun,
jauh di dalam dirinya, ada juga rasa cemburu.
Dia menjadi cemburu, dia melampiaskan amarahnya dalam hati,
karena tidak bisa melupakannya, dia lari dari tempat itu. Dia sekarang mengerti
semua itu.
Tidak, sebenarnya, saat itu dia mengetahuinya. Dia hanya
mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi dia memahaminya jauh di dalam hatinya.
Kemarahan dia lampiaskan pada Mamoru.
Meski tidak memiliki pacar, dia bukan wanita yang mudah
menghabiskan terlalu banyak waktu sendirian dengan lawan jenis. Kenapa dia
tidak memahaminya? Alisa memikirkan itu. Dia sebenarnya mengucapkannya dengan
lantang sebagai balasan kepada Mamoru, tapi itu saja tidak menenangkan
amarahnya.
(Tapi kenapa aku begitu kesal....?)
Sudah menjadi sifatnya, dia tidak agresif terhadap orang lain.
Dia berpikir perasaan orang lain mungkin bisa terluka, karena itu dia
ragu-ragu. Berbicara secara kasar dan melampiaskan kekesalannya pada seseorang
bukan pola perilakunya yang biasa.
Alisa tidak menganggap dirinya sebagai gadis pemalu yang
bahkan tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan. Dia juga memiliki
kenangan masa lalu ketika membuat pernyataan yang bertentangan dengan suasana
hatinya.
Namun berbeda saat dengan Mamoru. Itu bukan seperti dia.
Penyesalan itu melingkari hati Alisa.
(Meskipun aku tidak perlu terlalu agresif)
Itu situasi di mana, jika dia berbicara lebih tenang, mereka
bisa saja menertawakannya. Jika itu yang terjadi, itu tidak akan menjadi
tindakan seperti pasangan yang bertengkar dan putus asa, itu akan menjadi hal
biasa setelah jam pulang sekolah.
(Mengapa aku bertindak seperti itu?)
(Aku ingin tahu apa Karatachibana-kun menganggapku sebagai gadis
yang tidak menyenangkan....)
Sebelum dia menyadarinya, pikiran Alisa berpindah dari rasa
bersalahnya terhadap Marika ke penyesalannya terhadap Mamoru.
Alisa tidak menyadarinya.
0 Comments