Kamu ingin melihat kelopak bungaku? Warnanya
merah muda yang indah. Tapi hati-hati terhadap ledakannya.
Empat hari setelah Asura membunuh Jenderal Pahlawan Matias,
Moon Blossom dipanggil ke ruang audiensi di Kastil Arnia.
“Berkat usahamu, pasukan Therbaen telah mundur,” kata Raja
Arnia. “Selain itu, seorang utusan Therbaen tiba kemarin dan kami dapat
menandatangani gencatan senjata selama dua tahun.”
“Itu berita yang luar biasa. Kurasa itu sudah menyelesaikan
urusan kita di sini,” jawab Asura sambil mengangkat bahu santai.
Seperti biasa, dia menolak untuk berlutut. Jika Asura tidak
berlutut, begitu pula Jyrki dan Iina. Reko dan Salume juga berdiri tegak. Hanya
Lumia dan Marx yang berlutut, mata mereka menunduk ke lantai sebagai tanda
hormat.
“Kematian pahlawan sangat mengejutkan....” Raja Arnia menghela
nafas. “Sebagai akibatnya, jenderalku, tentaraku, parlemenku, dan aku harus
berurusan dengan interogasi para pahlawan. Tentu saja itu bukan masalah, karena
tidak ada satu pun dari kami yang terlibat dalam insiden tersebut.” Wajahnya terlihat
sedikit lelah setelah mengatakan itu.
“Sepertinya mereka tidak menunjukkan belas kasihan. Baiklah, berterima
kasih saja pada bintang karena mereka tidak menyiksamu. Semua bukti bersifat
tidak langsung dan tidak ada yang konklusif, jadi hal ini bukan suatu kejutan.
Berbeda dengan kami, para pahlawan tidak bisa melakukan kekerasan kapan pun
mereka mau,” Asura terkekeh.
“Itu tidak sepenuhnya benar, Nona kecil,” kata seorang pria
yang muncul dari balik bayangan pilar. Dia memiliki fisik yang paling tepat
digambarkan sebagai “matang”, dan memiliki otot yang bahkan lebih besar
daripada Marx.
“Maafkan aku, Asura,” kata Raja Arnia dengan nada penyesalan
yang tulus. “Dia bersikeras untuk menginterogasimu dan anggota Moon Blossom
lainnya.”
"Di sini?" tanya Asura.
“Ya, di
sini, nona kecil. Aku ingin semua orang di sini mendengar pengakuanmu, bajingan.”
Pria itu terlihat berusia sekitar enam puluh tahun. Rambut putihnya dipotong
pendek dan rapi, dia memancarkan aura yang sangat agresif. Lumia dan Marx
segera mengangkat kepala. Tubuh Salume bergerak mundur.
""Pengakuan"? Apa yang kamu ingin kami akui,
Tuan Pahlawan?” Asura bertanya sambil tersenyum padanya. Aura, betapapun
agresifnya, bukan sesuatu yang perlu ditakuti.
"Benar. Aku bukan pahlawan,” kata pria itu sambil
berjalan untuk berdiri di depan Asura. “Aku adalah Pahlawan Agung, Axel
Ehrnrooth, nona kecil.”
“Aku minta maaf atas kurangnya sopan santunku. Aku tidak
pernah berpikir kelompok seperti kami bisa mendapat kesempatan untuk
diinterogasi secara pribadi oleh Pahlawan Agung.”
Setiap wilayah—Felsen Timur, Felsen Tengah, dan Felsen
Barat—hanya memiliki dua Pahlawan Agung. Dengan kata lain, Axel adalah orang
terkuat keenam, setidaknya di semua negara di peta (terlepas dari wilayah yang
belum dipetakan) dan di antara semua orang di dunia.
“Pahlawan Agung .... benarkah?” Lumia tersentak, dia berdiri
dengan ekspresi sangat terkejut.
“Entah seberapa benarnya hal itu,” Axel tertawa. “Sekarang,
nona kecil.” Saat ini, Axel mengalihkan perhatiannya ke Asura. “Kudengar kamu
pemimpinnya?”
"Itu benar. Aku Asura Lyona, pemimpin Moon Blossom. Kamu
tidak perlu mengingat namaku. Kami tidak lebih dari serangga kecil yang tidak berarti
bagi orang sepertimu, kan?”
"Ya. Namun lain ceritanya jika 'serangga kecil yang tidak
berarti' tersebut membunuh seorang pahlawan. Aku akan langsung melanjutkan ke
pokok permasalahan: apa kamu membunuh Matias?”
"Kami tidak."
Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Asura, Axel meninju
wajahnya. Dia benar-benar lengah. Dampaknya melemparkannya ke belakang beberapa
meter, dan dia berguling-guling di lantai sebelum terbanting ke pilar.
“Tuan Axel! Apa yang sedang kamu lakukan?!" Raja Arnia
menuntut sambil berdiri dari singgasananya.
"Tak apa-apa. Jangan khawatir, Raja muda,” Asura
terbatuk. Menggunakan pilar sebagai penopang, dia perlahan berdiri dan
melambaikan tangan ke arahnya. Para anggota Moon Blossom menyaksikan dengan
diam.
“Dengar, nona kecil,” kata Axel sambil perlahan mendekati
Asura. “Mempertimbangkan situasinya, sangat jelas terlihat Arnia membunuh
Matias, kan?”
“Betapa naifnya.” Asura mencoba tertawa, tapi sebelum dia bisa
melakukannya, tinju Axel sudah menusuk perutnya. “Gah!” Rasa sakitnya begitu
luar biasa hingga dia terjatuh ke lantai, meringkuk seperti bola dan menekan
tangannya ke badannya.
“Tapi tahukah kamu, nona kecil? Tidak peduli dengan siapa aku
berbicara, tidak ada yang tahu apapun. ‘’Kami tidak melakukannya,’’ hanya itu
yang mereka katakan. Tapi itu sudah pasti. Kami bukan orang bodoh. Kami tahu
tidak ada seorang pun di pihak Arnia yang mampu membunuh Matias.” Dia menendang
tubuh Asura yang tengkurap dan melemparkannya ke udara. “Kau tahu?” Saat dia
mulai jatuh ke tanah, dia mengulurkan tangan dan menjambak rambutnya. “Semua
orang terus mengatakan hal yang sama: 'Jika ada orang yang bisa melakukannya,
itu pasti kelompok tentara bayaran itu, Moon Blossom.'”
"Apa? Apa kamu menuduh kami sebagai pelakunya hanya
berdasarkan rumor?”
"Ya. Coba tebak? Aku juga bertanya kepada Punti, dan dia
memberi tahuku kemungkinan besar kamu berada di baliknya. Katanya kelompokmu
berspesialisasi dalam taktik licik. Kudengar ketika Matias meninggal, kamu dan
seorang gadis berambut hitam tidak bersama tentara bayaranmu yang lain.”
“Itu hanya bukti tidak langsung, kan? Aku tidak melakukannya.”
Asura baru saja selesai berbicara sebelum Axel meninjunya lima
kali. Dengan rambutnya yang masih dalam genggamannya, tidak ada cara baginya
untuk melarikan diri. Yang bisa dia lakukan hanyalah mengerang kesakitan pada
setiap serangan. Namun, dia tetap sadar. Axel memastikan dia menahan
serangannya.
“Tidak, kamu memang melakukannya. Atau mungkin kamu bertindak
sendiri? Aku tidak tahu. Tapi jika kamu mempertimbangkan situasi dan kesaksian
yang ada, maka Moon Blossom satu-satunya orang yang bisa membunuhnya. Aku
berani bertaruh seseorang dari Arnia mempekerjakanmu, kan? Aku tidak terlalu
jauh dari kebenaran, kan? Jadi tumpahkan. Siapa klienmu, dan bagaimana caramu membunuhnya?”
“Seperti yang kubilang .... naif sekali.”
Axel membanting Asura ke lantai begitu keras hingga dia
terpental.
“Sudah cukup, Tuan Axel! Asura sudah bilang dia tidak
bertanggung jawab! Kamu bisa membunuhnya!”
“Diam, Yang Mulia. Kami benar-benar kesal. Bisakah kamu
menyalahkan kami? Seorang pahlawan terbunuh. Itu belum pernah terjadi
sebelumnya. Mereka bahkan tidak dibunuh oleh pahlawan lain. Dia dibunuh oleh
seseorang yang namanya bahkan tidak kami ketahui!”
“Ha ha .... kudengar Matias mati karena panah?” Asura bertanya
sambil perlahan mendorong dirinya untuk berdiri.
"Huh?"
“Dari mana .... panah itu berasal? Siapa .... yang
menembaknya? Apa ada .... saksi?” Lanjut Asura.
“Itu karena kami tidak tahu, makanya aku di sini untuk
membuatmu bicara!” teriak Axel. Dia menghantamkan tinjunya ke perut Asura,
tidak mampu lagi menahannya, dia terlempar lagi ke lantai.
“Ha .... apa hobimu .... membuat gadis cantik sepertiku
muntah?”
“Dasar bocah. Apa menurutmu aku senang memukuli anak kecil
sepertimu?! Huh?! Aku jelas-jelas melakukan ini hanya karena kamu pelakunya!”
“Tetapi kamu tidak akan membunuhku .... itu karena kamu tidak
mempunyai bukti yang kuat .... jadi itu bertentangan dengan tugas seorang
pahlawan untuk tidak pernah membunuh seseorang karena dendam pribadi .... kan?
Khususnya, kamu adalah Pahlawan Agung .... kamu harus bertindak sebagai contoh
bagi yang lain....” Dengan itu, Asura berdiri. Dia terbiasa disiksa dan telah
dilatih untuk itu. Tubuh ini mampu menahan rasa sakit.
“Bukan itu! Bukannya sudah kubilang ini belum pernah terjadi
sebelumnya?! Aku masih tidak bisa menerima Matias dibunuh! Kecuali kamu
mengungkapkan bagaimana kamu melakukannya, maka pahlawan lain juga tidak akan
menerimanya!” Tinju Axel menghantam pipi Asura. Meskipun dia tersandung, kali
ini dia tidak terjatuh. "Apa kau mengerti?! Apa kamu mengerti apa yang
kamu lakukan?! Tak satu pun dari kami berharap dibunuh oleh sekelompok preman
sembarangan! Kamu telah membalikkan keadaan yang normal bagi kami, jadi
sekarang kami harus menemukan cara untuk menghadapinya!”
“Itu bukan masalahku.”
“Dasar bocah—! Mengapa kami harus .... mengapa pahlawan
seperti kami harus waspada terhadap kemungkinan pembunuhan?! Kami adalah
tindakan umat manusia melawan Raja Iblis! Kami berjuang demi kemanusiaan! Jadi
kenapa kami harus dibunuh oleh orang-orang yang sudah bersumpah untuk kami
lindungi?!”
“Tapi kalian semua punya kehidupan masing-masing, selain
pekerjaan kalian sendiri, kan?”
"Huh? Apa hubungannya? Apa yang kamu coba katakan?"
“Kamu adalah manusia sebelum kamu menjadi pahlawan, jadi masuk
akal kalau orang-orang menyimpan satu atau dua dendam terhadapmu. Kalian semua
terkenal, namun tidak ada di antara kalian yang berpikir untuk mengambil
tindakan jika ada yang mencoba membunuhmu? Itu bagian yang bodoh. Apa kamu
yakin kamu tidak menjadi terlalu sombong dengan kekuatanmu sendiri?”
"Kenapa kamu-!" Axel menggeram. Dia meninju Asura
lagi, tapi kali ini, dia menghindari tinju itu. Axel sangat marah, tapi dia
tidak mengerahkan seluruh kekuatannya untuk setiap serangan. Dia menahan diri
agar tidak membunuhnya secara tak sengaja. “Berhentilah menghindar!”
“Er .... aku hampir mati, tahu? Aku menghindarinya demi kamu.”
Pukulan Axel cukup kuat untuk menghancurkan batu-batu besar.
Bahkan jika dia bersikap lunak padanya, kerusakannya bukan sesuatu yang bisa
ditertawakan. Jika Asura memakan dua atau tiga pukulan lagi, maka dia tidak
bisa bangun lagi. Jadi ini batasnya. Dia tidak lagi mengizinkannya, untuk
dengan bebas menyerangnya lagi setelah melewati titik ini.
“Kamu .... kamu membunuh seorang pahlawan! Kamu tahu apa
maksudnya, kan?! Kamu mengkhianati umat manusia! Kalian semua adalah musuh umat
manusia! Jika kamu berhasil memahaminya, beri tahu aku apa yang kamu lakukan! Aku
akan memberikan eksekusi normal jika kamu melakukannya. Tidak ada penyiksaan!
Aku akan membunuhmu begitu saja! Itu tidak terlalu buruk, kan?!”
“Tentu saja buruk, bodoh,” kata Asura.
“Kau yang bodoh! Menurutmu siapa yang harus kamu ucapkan
terima kasih karena bisa menikmati permainan perang kecilmu?! Huh?! Inilah kami
para pahlawan! Itu karena kami mempertaruhkan hidup untuk menghilangkan ancaman
terhadap umat manusia!”
“Humph. Sungguh menakjubkan betapa kelirunya kamu.”
"Apa?!" Axel menarik tinjunya kembali untuk
memberikan pukulan lagi ke wajah Asura, tapi dia membeku ketika dia merasakan
niat membunuh.
“Cukup, Tuan Axel,” kata Lumia dengan suara dingin. “Jika kamu
bersikeras untuk terus memukul Asura-ku .... tidak, pemimpin kami, maka aku
akan membunuhmu.” Dia sudah memegang belati di tangannya.
"Huh?! Bukannya aku sudah memberitahumu, idiot, siapa
aku?!”
“Apa bedanya, kakek?” Jyrki mendengus, menyiapkan belatinya
sendiri. “Kamu sudah pikun? Kamu berpikir kami akan membiarkanmu pulang
hidup-hidup setelah kamu mematikan lampu kehidupan pemimpin kami?”
“Bunuh Pahlawan Agung....” kata Iina dengan tenang sambil
menyiapkan busurnya. “Aku akan mengembalikan rasa sakit Bos kepadamu ....
seratus kali lipat .... kemudian membunuhmu....”
“Pemimpin kami sudah bilang kami tidak melakukannya. Memang
benar kami tidak ada hubungannya dengan pembunuhan Matias, namun kamu pergi dan
praktis membunuhnya. Jika kamu pikir bisa lolos begitu saja, maka kamu terlalu
meremehkan kami.” Bahkan Marx mengangkat belatinya, siap bertarung kapan pun
dia diberi perintah.
“Bos tidak melakukannya....” kata Salume. “Kamu memukulnya
berkali-kali dan dia terus mengatakan dia tidak melakukannya. Jadi menurutku
dia tidak bersalah.”
“Bahkan jika Boss melakukannya, dia bilang dia tidak
melakukannya, jadi dia jelas tidak bersalah,” kata Reko. “Mengapa kamu tidak
kembali ke peti matimu, dasar orang tua bodoh gila?”
“Apa kalian semua waras?” Axel menggeram. “Kalian semua serius
ingin melawanku?”
“Itu benar,” desah Asura. “Kamu seharusnya sudah pulang
sebelum happy hour berakhir.”
(Happy hour adalah suatu
teknik promosi yang menawarkan diskon ataupun potongan harga pada berbagai
produk di jam-jam tertentu saja.)
"Huh? "Happy hour"?"
“Aku sudah membiarkanmu memukulku selama ini, kan? Tapi sekarang
itu sudah berakhir. Kamu telah mencapai batas kesabaran kami. Jadi jangan
bergerak, Axel. Jika kamu melakukannya, aku akan membunuhmu.”
***
Orang-orang ini
serius—benar-benar serius—untuk bertarung di sini. Itulah kesan yang didapat Axel dari niat membunuh yang
terpancar dari Moon Blossom. Itu sebabnya dia memilih untuk tetap diam. Dia
tidak mungkin kalah dalam pertarungan melawan mereka. Tidak hanya itu, tapi dia
juga bisa membunuh mereka. Bagaimanapun juga, dia bisa mengklaim pembelaan
diri.
Namun, Axel sendiri tidak mungkin sepenuhnya selamat. Dia
pernah mendengar rumor tentang Moon Blossom. Mereka masing-masing adalah
petarung kuat, mampu mengoordinasikan pola serangan bersama. Selain itu, dia
hanya punya sedikit pengalaman dalam pertarungan anti-sihir. Dengan kata lain,
sulit mengalahkan Moon Blossom tanpa membunuh mereka. Jika dia membunuh mereka,
kebenaran tentang apa yang terjadi tidak akan pernah terungkap.
“Salume, kemarilah sebentar,” kata Asura. Salume berlari ke
arah Asura, lalu melanjutkan, “Aku sedikit lelah, jadi bertindak sebagai
kursiku.”
"Huh? Kursimu....? Kamu ingin aku menjadi kursimu?
"Itu yang aku katakan. Merangkaklah di sini.”
“Ah, baiklah.” Salume dengan patuh mengikuti perintah Asura
dan menurunkan dirinya ke lantai seperti anjing. Asura meletakkan seluruh
bebannya di punggung Salume dan menyilangkan kakinya. “U-um .... bagaimana
rasanya?” dia bertanya dengan takut-takut.
"Hmm." Asura menampar pantat Salume beberapa kali.
"Ini tidak buruk."
“Kenapa kamu tidak memilihku?” keluh Reko. “Aku ingin menjadi
kursimu, Bos.”
“Apa kamu ingin aku .... menjadikanmu kursiku?”
“Aku tidak menginginkanmu, Iina. Aku ingin Bos.”
“Kau membuatku kesal .... aku akan menembakmu .... sebelum aku
menembak Pahlawan Agung....”
Meskipun memancarkan niat membunuh yang cukup untuk membuat
seluruh ruangan menjadi sunyi, Moon Blossom terus mengobrol santai di antara
mereka sendiri.
“Bukannya ancaman pembunuhanmu terhadapku bisa dianggap
sebagai bukti kamu membunuh Matias?” tanya Axel.
“Tidak, mereka tidak akan melakukannya,” jawab Asura. “Kami
tidak membunuh Matias dan kami akan membuktikannya padamu. Mari kita lihat....”
Dia melihat sekeliling ruangan sampai matanya tertuju pada salah satu pengawal
pribadi Raja Arnia. “Reko, pinjam tombak orang itu. Aku akan membunuhnya jika
dia tidak menyerahkannya padamu, jadi jangan khawatir kalau dia anak yang
egois.”
"Baik, Bos."
Reko berlari ke arah pengawal pribadi, mengambil tombak, lalu
berlari kembali ke Asura.
“Pegang tombaknya hingga ujungnya terangkat ke udara, Reko.”
"Iya, Bos." Dengan itu, Reko patuh melakukan apa
yang diminta Asura.
“Perhatikan baik-baik, Axel,” kata Asura sambil menunjuk ujung
senjata. “Setelah kami membunuhmu, kami akan menancapkan kepalamu pada tombak
dan berparade keliling kota sambil mengiklankan diri kami sebagai kelompok
tentara bayaran dengan skill yang cukup untuk membunuh Pahlawan Agung.” Setelah
dia mengatakan itu, Asura berhenti dan bersenandung seolah dia baru saja
menyadari sesuatu. “Ha ha, kamu sudah mati, jadi kami tidak bisa membuktikan
apapun padamu. Tapi, berita tentang hal ini akan menyebar ke pahlawan lainnya, kan?
Jika kami yang membunuh Matias, kami pasti sudah membual tentang hal itu.”
Seringai di wajah Asura jelek dan rusak, melihatnya membuat
punggung Axel merinding. Dia serius. Gadis kecil gila ini bersungguh-sungguh
dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pahlawan Agung Axel
takut pada manusia lain. Dia membanggakan dirinya sebagai pria terkuat di
Felsen Timur, namun dia takut pada gadis kecil berusia tiga belas tahun. Itu
mengingatkannya pada saat dia pertama kali melawan bencana supernatural Raja
Iblis, saat dia masih menjadi pemula. Dalam pertarungan antara Axel dan Asura,
Axel pasti menang. Atau dia seharusnya bisa, karena dia jauh lebih kuat
daripada dia. Namun jika itu masalahnya, kenapa dia tidak bisa berhenti
membayangkan kepalanya yang berdarah di atas tombak itu?
"Apa kamu manusia?" Dia bertanya.
Bahkan itu pun meragukan. Dia bahkan penasaran apa dia adalah
monster tingkat puncak yang menyamar. Makhluk yang mampu melakukan hal seperti
itu sangatlah langka, tapi bukan berarti mereka tidak ada.
“Apa aku tidak terlihat seperti itu? Tentu saja aku seorang
manusia. Entah kenapa, banyak orang yang takut padaku saat mereka melihatku,
tapi aku tak lebih dari manusia biasa. Yah, aku akui kalau pikiranku tidak beres.
Semua orang bilang begitu tentangku, jadi menurutku itu benar,” Asura terkekeh.
Ahh, Axel sadar. Itu karena
tawa ini. Aku tahu apa ini.
“Lagi pula,” Asura melanjutkan, “Aku bisa mengerti mengapa
kamu mencurigai kami. Terlepas dari bukti tidak langsung, sejujurnya kami tidak
peduli tentang membunuh seorang pahlawan. Jadi tentu saja, kami tidak merasa
perlu menyembunyikan pencapaian kami. Dengar, tak seorang pun di antara kami
yang takut dengan balasan apapun yang bisa diberikan oleh para pahlawanmu.
Faktanya, aku berharap dapat berperang melawan kalian semua.”
Raja Iblis—musuh umat
manusia yang menyukai kematian dan kehancuran—tertawa dengan cara yang persis
sama seperti dia.
"Kamu mengerti? Apa kamu memahami kata-kata yang keluar
dari mulutku? Jika kami membunuh Matias, maka kami akan menyeretnya ke jalanan
sebagai piala kami.”
Senyum gembira jahat itu
membuatku merinding....
“Axel, aku memuji penilaianmu untuk tetap diam. Kamu tidak
bisa menang melawan kami, alasannya sederhana: itu karena kami adalah
prajurit-penyihir. Aku yakin kamu belum pernah memiliki pengalaman bertarung
melawannya. Tentu saja, dalam pertarungan satu lawan satu, tidak ada satu pun
dari kami yang bisa menandingimu. Bahkan Lumia, anggota terkuat di grupku,
tidak bisa mengalahkanmu. Tapi, mari kita ambil contoh kelopak bunga ini.
Mengapa kamu tidak mengambilnya dan melihatnya lebih dekat?”
Saat Asura mengangkat jari telunjuk kanannya, sehelai kelopak
bunga mulai melayang turun dari langit.
“Apa hubungannya ini dengan sesuatu, huh?” Axel menggeram
sambil menyambarnya dari udara. Detik berikutnya, tangan kirinya meledak,
memercikkan darah ke seluruh ruangan. “GAAAAHHHHHH!!!!!!!!!!” Dia jatuh ke
tanah, menggeliat dan menjerit.
“Ha ha ha ha ha! Apa kamu idiot? Apa kamu sangat bodoh? Aku
sangat, sangat menyesal! Pasti terlihat seperti kelopak bunga, kan? Jadi aku
tidak terkejut kamu menyentuhnya! Inilah yang dilakukan prajurit-penyihir,
Axel!!! Itu karena idiot berotot sepertimu terus-terusan jatuh ke dalam
perangkap ini sehingga aku menikmati waktu hidupku sekarang!!!”
Axel terjatuh ke lantai dan anggota Moon Blossom mengelilinginya. Belati mereka sudah terhunus, siap membunuh Axel kapan saja.
3 Comments
hadirr
ReplyDeleteNaik semua bulu tangan gua baca chapter ini min(mungkin gua nya aja yg terlalu mendalami yak😂), baru benar2 faham seberapa licik dan sadis seorang Asura
soalnya gua sedikit ketipu pada chapter" sebelumnya saat Asura menyarankan untuk menyembuhkan luka salume terlebih dahulu sebelum lengannya sendiri(disini gua fikir dia sedikit memiliki nurani min😅).
DeleteMau gimana lagi, Asura maniak perang
Delete