F

Maiden Cygnus Volume 1 Chapter 10 Bahasa Indonesia

12 April

Minggu, jam 8 pagi.  

Bel pintu di apartemen Marika berdering.  

"Aku datang."

Marika meninggikan suaranya untuk menjawab bel pintu, setelah itu berlari ke monitor.  

"Selamat pagi, Mina."  

Pengunjung pertama pagi ini adalah Alisa.  

Marika langsung menekan tombol untuk membuka kunci otomatis.  

"Selamat pagi. Aku sudah membukanya, jadi masuklah."  

"Maaf atas gangguannya." 

Alisa dengan tulus berkata, lalu menghilang dari bidang pandang kamera.  

Marika yang sudah bersiap untuk pergi, mulai membuatkan teh untuk Alisa.  

"Selamat datang."  

Marika menyuruhnya masuk, membuat Alisa bingung.  

"Rupanya kamu siap untuk pergi...." 

Alasannya karena penampilan Marika yang siap untuk pergi.  

“Kita punya waktu luang untuk minum teh. Benarkan?" 

Tapi pada akhirnya, Alisa didorong masuk oleh Marika.  

Alisa duduk di depan meja makan dengan cara sedikit tidak nyaman sambil menatap punggung Marika. Dia berbalik seolah merasakan tatapan Alisa. Tidak, di tangannya ada nampan dengan cangkir, jadi dia pasti baru saja selesai menyiapkan teh.

"Ini dia."  

Dua cangkir yang dibawa Marika berisi teh. Namun, cangkir Alisa sekitar dua pertiga penuh, sementara Marika hanya sekitar setengahnya.  

Di atas nampan ada pot gula dan sekotak susu yang telah disimpan pada suhu kamar.  

"Apa kamu mau beberapa?"  

Marika bertanya pada Alisa setelah membuka tutup karton susu.  

"Tidak, ini sudah cukup."  

Alisa berkata begitu kemudian mencicipi teh hitamnya.  

Marika menuangkan susu ke dalam cangkirnya sendiri.  

Alisa merenung sejenak lalu menambahkan setengah sendok gula ke dalam teh hitamnya.  

Alisa dan Marika menyesap cangkir mereka secara bersamaan.  

Alisa sepertinya puas dengan rasanya, saat dia mengembalikan cangkir ke meja tanpa mencoba menambahkan apapun ke tehnya.  

Marika membuat ekspresi sedikit tidak senang saat meraih pot gula.  

"Ngomong-ngomong, Asha."  

Sambil mencampur teh susu dengan gula yang baru ditambahkan dengan sendok, Marika memanggil Alisa.  

"Ada apa?"  

Alisa berhenti mengangkat cangkir teh di udara saat menatap Marika dalam posisi itu.  

"Kenapa kamu berseragam?"  

“Eh, ini....”

Alisa mengalihkan pandangannya dari Marika. Alisa membawa tas berisi baju ganti, tapi seperti yang dikatakan Marika, dia sekarang memakai seragamnya yang biasa.  

“Bukankah Presiden Klub mengatakan tidak apa-apa tanpa memakai seragam?”  

Marika memiringkan kepalanya terlihat penasaran.  

Marika mengenakan T-shirt lengan panjang, celana pendek, dan kaos kaki selutut. Dia terlihat seperti bisa melakukan beberapa olahraga nyata.  

Masih menghindari mata Marika, Alisa samar-samar menjawab, "Untuk beberapa alasan...." 

“Mungkinkah, kamu berpikir kurang sopan memakai pakaian kasual?” 

“Aku tidak berpikir itu kurang sopan, tapi....” 

Alisa menatap mata Marika tapi langsung menunduk.  

“....Aku tidak tahu pakaian kasual seperti apa yang harus aku kenakan .... atau lebih tepatnya, ini terkait dengan sekolah, jadi kupikir seragam menjadi pilihan yang aman....” 

Ketika Marika mendengar alasan Alisa, dia mulai tertawa.  

"Kamu mengerikan karena menertawakan itu."  

"Maafkan aku."  

Alisa berbalik merajuk, membuat Marika meminta maaf dengan wajah tersenyum dan suara seseorang yang masih tertawa.  

“Maksudku, ini tidak seperti kita akan berkencan, jadi kamu tidak perlu khawatir tentang hal semacam itu.”  

"Maksudmu aku terlalu sadar diri, uh?"  

“Aku tidak berpikir sejauh itu. Lihat, tehnya mulai dingin.”  

Marika dengan ahli melanjutkan tawanya tanpa suara saat Alisa meminum tehnya sambil berbalik untuk mengabaikannya.

Tidak lama kemudian cangkir Alisa kosong, Marika dengan ekspresi tersenyum dan Alisa masih terlihat marah, mereka meninggalkan apartemen.  

◇ ◇ ◇

Pada saat mereka turun dari Cabinet di stasiun terdekat dengan sekolah, suasana hati Alisa sepertinya sudah pulih.  

Sebaliknya, Marika tidak bisa menyembunyikan kelelahan di wajahnya, tetapi apa yang terjadi di dalam Cabinet dua tempat duduk itu tidak jelas bagi pihak ketiga.  

Yah, Marika terlihat lelah tapi juga lega, jadi mungkin semuanya bisa diselesaikan dengan damai.  

"Apa ini benar jalannya?"  

“Aku cukup yakin itu berlawanan arah dengan sekolah. Aku akan memeriksa peta.”  

Dalam pertanyaan Marika dan jawaban Alisa, mereka berbicara dengan nada ramah seperti biasanya.  

“Ya, ini benar. Tunggu apa....?"  

Alisa cemberut ketika dia mengkonfirmasi ulang lokasi di terminal informasi.  

"Apa ada yang salah?"  

"Dikatakan perkiraan waktu kedatangan dalam lima belas menit."  

"Situsnya mengatakan 'sepuluh menit berjalan kaki dari stasiun', kan?"  

Indikasi di situs web diamanatkan oleh undang-undang dan data yang muncul di terminal informasi disesuaikan untuk pemiliknya. Ini berarti menurut undang-undang (Perjanjian Persaingan Sehat untuk Atribusi Real Estat yang disetujui oleh Komite Perdagangan yang Adil) diasumsikan dibutuhkan 'wanita dewasa yang sehat' sepuluh menit untuk sampai ke sana, tetapi lima belas menit untuk Alisa.  

“....Aku tidak sengaja berjalan sepelan itu.”

Alisa bergumam terlihat tidak senang.  

“Ugh. Pergi ke sekolah dari stasiun memakan waktu sekitar sepuluh menit, ini lebih jauh dari itu.”  

Marika berbicara dengan nada sedikit bosan, menumpahkan pikirannya dalam ucapan yang bisa disebut keluhan.  

“Jadi sekitar tiga puluh menit dari sekolah. Transportasi sangat dibutuhkan.”  

Setelah mengomel, Alisa menenangkan diri lalu mendesak Marika dengan, "Ayo pergi?"


Fasilitas yang digunakan Klub Crowd Ball berada di area yang agak rumit. Ada jalan dengan putaran yang tidak wajar karena pohon-pohon pinggir jalan di beberapa tempat— jalan yang secara paksa menahan kecepatan kendaraan untuk melindungi pejalan kaki, itu membuat bus, apalagi bus besar perlu membuat jalan memutar. Keduanya merasa mereka mengerti: "Jadi ini sebabnya mereka menggunakan papan luncur listrik...."

“Ah, selamat datang. Terima kasih sudah datang!"  

Saat mereka memasuki area yang bertuliskan 'disediakan untuk Klub Crowd Ball SMA Pertama yang berafiliasi dengan Universitas Sihir', Presiden Klub Hatsune menyambut mereka dengan nada yang pada awalnya terlihat terkejut, tetapi langsung berubah menjadi ungkapan kegembiraan.  

“Maaf mengganggu.”  

"Aku hanya mengantarnya, tapi tolong jaga aku."  

Marika membalas salam setelah Alisa, dengan jelas mengumumkan dia bukan kandidat untuk bergabung dengan klub.  

"Tidak ada masalah. Kamu dipersilakan untuk mengamati.”  

“Tidak, aku tidak sedang mengamati....” 

Kata ‘mengamati’ membuat Marika cemas.

"Aku hanya bercanda."  

Hatsune menambahkan sambil cekikikan setelah melihat kecemasan Marika. Dari raut wajahnya, sepertinya dia sejak awal tidak menggodanya, dia hanya mencoba menghapus perasaan bersalah Marika.  

“Kalian berdua, duduklah di sini. Pertandingan latihan akan segera dimulai, jadi aku akan menjelaskan peraturannya saat kita menontonnya.”  

"Tolong lakukan."  

Alisa menundukkan kepalanya sebagai tanda setuju.  

"Asha, kamu harus duduk di sebelah presiden."  

"Ya, aku akan melakukannya."  

Alisa duduk di sebelah Hatsune seperti yang disarankan Marika. Sedangkan Marika duduk di sebelah Alisa. Mereka duduk di bangku untuk tiga orang dengan Alisa di tengah.  

Seperti yang Hatsune katakan, pertandingan akan segera dimulai. Lapangan dikelilingi oleh dinding dan langit-langit transparan, dua pemain saling berhadapan dengan net di antara pemain. Mereka berdiri dalam posisi siap dengan raket tenis panjang (atau yang serupa).  

Dari belakang pemain di sisi kanan, bola lunak ditembakkan ke sisi kiri lapangan.  

“Itu servis Crowd Ball. Tidak seperti tenis, para pemain tidak melakukan servis. Kecepatan servis konstan sampai akhir.”  

Pemain di sebelah kiri memukul bola ke langit-langit. Bola membentur langit-langit hendak mengenai lapangan di sisi kanan.  

Sebelum bola bersentuhan dengan lapangan, bola itu dipantulkan kembali dengan lembut setinggi pinggang. Bola melengkung yang disebut tembakan lob dalam tenis, dikembalikan.  

(Lob = (Terutama di tenis) bola dipukul dengan melengkung tinggi di atas lawan)

Pemain di sebelah kiri tidak mengembalikannya dengan sihir, tetapi mengembalikannya dengan smash.

Pemain di sebelah kanan membenturkan bola ke punggungnya. Bola memantul di dinding belakang saat melengkung ke sisi kiri lapangan.  

Saat itu terjadi sebuah bola ditembakkan, kali ini dari penembak di sisi kiri.  Pemain di sebelah kanan memukulnya dengan keras.  

Bola yang dipukul dan bola yang memantul di dinding belakang melewati net hampir bersamaan.  

"Jadi begitu cara kerjanya."  

Marika bergumam.  

Itu terlalu keras untuk menjadi gumaman, jadi baik Alisa atau Hatsune mendengarnya.  

“Ada sembilan bola yang ditembakkan dengan interval satu setiap 20 detik. Ini taktik umum untuk menggunakan waktu itu sebagai keuntunganmu.”  

"Apa kamu menghitung 20 detik di kepalamu?"  

Hatsune menggelengkan kepalanya pada pertanyaan Alisa.  

“Aku tidak benar-benar menghitung. Kamu dapat secara intuitif mengetahui kapan bola berikutnya akan datang ketika sudah terbiasa dengan waktunya.”  

Sementara mereka berbicara, jumlah bola terus bertambah.  

“Mereka lebih sering memukul bola dengan sihir, huh?”  

Alisa menunjukkannya dan kali ini Hatsune mengangguk setuju. 

“Seiring bertambahnya jumlah bola, semakin sedikit yang bisa kamu pukul dengan raket.”  

"Tapi mereka tidak hanya menggunakan sihir, kan?"  

“Bahkan dengan CAD yang dioperasikan menggunakan pikiran, lebih cepat untuk menggerakkan tubuhmu jika berada di dekat bola.”  

“Ah, aku mengerti.”

Di sisi lain Alisa, Marika setuju dengan kata-kata Hatsune.  

“Ada kalanya tubuhmu bergerak begitu saja sebelum kamu memikirkannya.”  

"Sementara sihir tidak berfungsi kecuali kamu berpikir."  

Alisa juga mengangguk untuk menunjukkan dia mengerti.  

“Itulah mengapa para pemain memegang raket. Tiga tahun lalu peraturan diubah untuk mempersulit pengembalian bola dengan menggunakan sihir.”  

"Aturan seperti apa yang ditambahkan?"  

Alisa menunjukkan minat yang besar. 

Mengingat kemampuan sihirnya, wajar jika bagian ini sangat terkait dengan cara dia bermain. 

Hatsune mengungkapkan, dengan "Heh....", karena kekagumannya pada intuisi Alisa.  

“Juumonji-san, seperti yang kuduga kau hebat. Kamu memiliki akal sehat.”  

"Um, terima kasih banyak?"  

Alisa tidak mengerti untuk apa dia dipuji, tetapi dia membalas ucapan terima kasih dengan suara ragu. 

"Mereka menambahkan aturan untuk ukuran penghalang."  

Reaksi Alisa dalam beberapa hal tidak sopan, tetapi Hatsune kelihatannya tidak peduli.

“Aturan yang ditambahkan menyatakan jika kamu mempertahankan lapangan dengan sihir penghalang, sumbu utama penghalang dari panjang, lebar, dan garis diagonal tidak boleh melebihi sepertiga dari lebar lapangan. Lebar lapangan tunggal sekitar 6 meter sehingga sumbu utama penghalang harus berada dalam jarak 2 meter, lapangan ganda memiliki lebar 9 meter, sehingga penghalang harus berada dalam jarak 3 meter. Aturan ini sangat ketat, setiap pelanggaran bisa mengakibatkan diskualifikasi dan kerugian otomatis.”  

“Tentu saja, jika tidak ada batasan, sudah bukan pertandingan.”

Alisa setuju dengan aturan itu.  

Atau lebih tepatnya, dia tidak mengerti mengapa sebelumnya itu tidak dibatasi.  

“....Tapi di pertandingan nyata, mungkin sulit untuk bermain tanpa melanggar aturan.”  

"Mengapa?" 

Marika menyela karena tidak mengerti apa yang dikhawatirkan Alisa.  

“Karena penghalang biasanya dibangun sesuai dengan luas yang dibutuhkan, bukan berapa panjang yang diinginkan dalam meter. Misalnya, jika 2 bola berjarak 3 meter terbang ke arahmu pada saat yang sama, biasanya sulit untuk membuat dua penghalang, kamu hanya menggunakan satu penghalang yang panjangnya 3 meter.”  

“Ah, aku mengerti.”  

“Ukuran penghalang diukur dengan permukaan, kan?”  

Pertanyaan ini ditujukan pada Hatsune.  

"Kamu benar-benar memahaminya dengan baik, huh?" 

Sampai saat ini Hatsune yang paling terkesan.  

“Eh, apa maksudnya?”  

Marika tidak mengerti maksud dari pertanyaan Alisa.  

"Sihir penghalang yang paling aku kuasai memiliki permukaan bulat, bukan permukaan datar."  

Tapi ketika dijelaskan sejauh itu, Marika sepertinya mengerti.  

"Benar. Jika kamu mengukur panjang permukaan penghalang, meskipun lebarnya tepat 2 meter sumbu utama bisa menjadi lebih dari 2 meter. Ini bukan berarti kamu tidak dapat menggunakan penghalang datar, tetapi kamu mungkin harus mengutak-atik pengaturan Urutan Aktivasi di CADmu." 

"Meskipun disebut sihir penghalang, pasti ada banyak variasinya, huh?"

Marika bergumam kagum.  

Alisa bereaksi dengan tatapan tercengang.  

“....Mina, kamu berbicara seolah belum pernah mendengarnya, tapi keahlianmu juga sihir penghalang.”  

“Aku tahu itu. Tapi milikku....” 

Marika memberikan senyum palsu. 

Marika terlihat enggan menyentuh topik ini sehingga Alisa tidak melangkah lebih jauh. 

"Jadi, mereka sama sekali tidak punya waktu untuk beristirahat."  

Alisa mengubah topik dan Hatsune menyetujui apa yang dia katakan.  

“Itu mungkin perbedaan terbesar antara tenis dan Crowd Ball. Di Crowd Ball tidak ada konsep bola keluar batas atau bola mati, jadi permainan tidak berhenti.”  

"Satu set berlangsung selama tiga menit, kan?"  

"Benar. Karena tidak ada jeda dalam permainan, jika pemain tidak menggunakan sihir, mereka akan terus berlari selama tiga menit. Ini alasan terbesar Crowd Ball menjadi kompetisi sihir.”  

"Tetapi bahkan dengan sihir, aku pikir tiga menit berturut-turut akan sulit."  

Marika menyela diskusi antara Alisa dan Hatsune.  

"Ya kamu benar. Sejak aturan berubah, stamina menjadi semakin penting.”  

Hatsune menampilkan senyum pahit saat menjawab.  

"Mungkin itu alasan lain untuk penurunan popularitas."  

Kata-kata Hatsune memberikan sekilas kekhawatirannya tentang penurunan jumlah anggota klub.

Seolah menggunakan ratapan Hatsune sebagai sinyal, permukaan lapangan tiba-tiba menjadi lebih gelap. 

Saat itulah Alisa dan Marika pertama kali menyadari lapangan terbuat dari panel cahaya.  

“Ketika lapangan menjadi gelap, itu menandai akhir dari set. Crowd Ball sering dimainkan dengan banyak lapangan yang bersebelahan, jadi biasanya suara tidak terdengar.”  

“Bukan hanya itu yang mereka lakukan?! Bukankah sensor lapangan menghitung pantulan bola?”  

"Ya itu benar. Permukaan bola ditutupi dengan serat konduktif. Dengan begitu, sistem mendeteksi sentuhan bola dengan perubahan hambatan listrik pada permukaan lapangan yang sedikit dialiri listrik.”  

Hatsune menjelaskan pertanyaan Marika.  

"Kalau begitu, bukankah itu juga termasuk keringat?"  

Adapun ini, hanya Marika yang terlalu banyak berpikir.  

"Komputer bisa membedakannya."  

“Ahaha, tentu saja bisa.”  

Hatsune menanggapi tawa palsu Marika dengan senyumnya sendiri, kemudian menoleh ke Alisa.  

“Juumonji-san, maukah kamu mencobanya?”  

“Eh?”  

Dia melihat kembali ke lapangan, curiga itu pertandingan tiga set, siswa tahun kedua yang berpartisipasi dalam pertandingan telah menyingkirkan bola yang tersebar di lapangan dengan sihir.  

“Sejak kamu datang untuk mengamati. Kamu bisa menggunakan raket dan sepatu dari klub. Aku bisa meminjamkanmu beberapa pakaian jika kamu mau?”  

"Tidak perlu, aku membawa baju ganti."  

“Aku mengerti, kamu sudah siap. Ruang ganti ada di sana. Aku akan membawamu ke sana.”

Alisa tidak bisa menolak, jadi dia memutuskan untuk mencobanya.


"Apakah baik-baik saja menggunakan CAD milikku?"  

Alisa memasuki lapangan dengan memegang raket dan menunjukkan pergelangan tangan kirinya kepada Hatsune.  

“Sebenarnya ada peraturannya, tapi karena ini bukan pertandingan resmi kamu tidak perlu mengkhawatirkannya.”  

Hatsune berada di sisi lain lapangan. 

Dia akan memainkan peran lawan dalam pertandingan uji coba.  

"Nah, kamu akan menerima dulu, Juumonji-san." 

Di Crowd Ball, orang yang menerima lebih dulu memiliki keuntungan. 

Usulan Hatsune secara alami atas dasar itu.  

"Ya, baiklah."  

Mengingat pertandingan latihan yang baru saja dia tonton, Alisa sedikit menurunkan pinggangnya di tengah lapangan untuk mengambil sikap.  

"Asha, lakukan yang terbaik!"  

Ucapan semangat terbang dari Marika.  

Tepat setelah itu, sebuah bola ditembakkan dengan lembut dari penembak.  

Alisa tidak memiliki pengalaman dengan tenis, tetapi sejak dia datang ke Tokyo, dia telah bermain raket untuk pelatihan kebugaran. Raket Crowd Ball lebih mirip dengan raket tenis, tetapi Alisa dapat menyesuaikan intuisinya atas dasar itu.  

Alisa memukul bola yang mendekat sekeras yang dia bisa.  

“Ooh.”

Marika bukan satu-satunya yang bersorak. Bahkan saat jumlah bola bertambah menjadi tiga, skor tetap nol. Dengan cara dia menangani Crowd Ball, sulit dipercaya ini pertama kalinya dia memainkannya.  

Namun tepat saat bola keempat keluar, lapangan di sisi Alisa berubah menjadi merah menyala.  

Lapangan Alisa menyala merah, sedangkan miliki Hatsune masih gelap.  

“Emm, apa ini?”  

Alisa berhenti bermain lalu bertanya pada Hatsune.  

"Sayang sekali. Ini kerugianmu karena pelanggaran aturan.”  

“Eh?”  

“Penghalang terlalu besar. Pelanggaran aturan dengan membuat penghalang besar.”  

Ketika dia mengatakannya, Alisa akhirnya sadar.  

“Bukan hanya ukuran penghalang, AI juga secara otomatis menentukan semua pelanggaran aturan terkait sihir. Sensor yang digunakan adalah teknologi mutakhir.”  

Ada juga aturan di Crowd Ball yang mengatakan seorang pemain tidak boleh mengganggu lintasan bola secara langsung.  

Memantau pelanggaran aturan dalam olahraga yang menggunakan sembilan bola sangat sulit dilakukan tanpa bantuan AI yang terhubung langsung dengan sensor sihir.  

“AI benar-benar tidak fleksibel. Ini hanya uji coba, jadi mari kita mematikannya?”  

"Tidak, tolong tetap seperti ini."  

Alisa menolak tawaran Hatsune.  

Ketika Hatsune melihat penampilan Alisa yang memancarkan semangat kompetitif, ekspresi terkejut muncul di wajahnya. Tapi segera setelah itu, wajahnya berubah menjadi senyum yang menyenangkan.  

"Baiklah kalau begitu. Mari kita mulai lagi permainannya.”

Hatsune mendorong bola di lapangannya ke belakang dengan sihir. Alisa menirunya.  

Sebuah mesin kecil yang terlihat seperti robot penyedot debu muncul untuk mengambil bola.  

Alisa dan Hatsune mengambil posisi mereka lalu pertandingan dimulai lagi dengan Alisa menerima bola.

Uji coba Alisa dengan Hatsune sebagai lawannya kini sudah memasuki pertandingan kelima.

Hingga saat ini, hasilnya masih sama seperti game pertama, dengan Alisa kalah karena melanggar aturan saat membuat penghalang terlalu besar.  

(Kali ini pasti, aku tidak akan melakukan pelanggaran) 

Alisa memutuskan itu saat menghadapi permainan.  

Untuk melakukannya, cara teraman adalah tidak menggunakan sihir penghalang.  

Tapi Alisa mengerti melakukan ini tidak bisa membantunya memenangkan pertandingan. 

Alisa memutuskan untuk membatasi dirinya dalam memantulkan kembali satu bola dengan sihir penghalang, lalu bola yang tidak tercakup oleh penghalang dikirim kembali dengan teknik pembalikan vektor atau memukulnya dengan raket.  

Tetapi dengan melakukan itu, dia tidak bisa memukul semua bola. Poin terus meningkat di pihak Hatsune.  

— Mengapa aku berusaha sekeras ini?  

Saat dia berlari mengejar bola sebanyak yang dia bisa, keraguan muncul di benak Alisa.  

Dia tidak terobsesi untuk menang. Kurangnya keinginannya untuk menang tidak berubah sejak pertandingan dimulai.  

— Tapi, itu membuatnya frustrasi.  

Kelihatannya tidak mengerti penyebab yang membuat dirinya frustrasi, Alisa dengan panik mengejar bola. 

Satu per satu, tujuh bola lewat di atas net.  

Alisa mengembalikan dua dari mereka dengan penghalang sihir, satu dengan teknik pembalikan vektor dan satu lagi dengan raket, tetapi tiga bola tidak dapat dia capai sehingga jatuh di lapangannya.  

Tiga poin ditambahkan ke skor Hatsune, cahaya di permukaan lapangan menghilang.  

Pada permainan kelima, untuk pertama kalinya Alisa mampu mempertahankan permainan selama tiga menit.

Skornya 7 banding 25. Kekalahan total, dengan skor lebih dari tiga kali lipat. 

Alisa frustasi. Tapi dia tidak kecewa karena kalah. Alisa tidak tahu apa yang membuatnya frustrasi, tetapi dia secara intuitif mengerti itu bukan karena dia dikalahkan.  

“Kau benar-benar mengejutkanku. Aku tidak percaya itu pertama kalinya kamu memainkannya, kamu bermain sangat baik.”  

Hatsune meletakkan tangan kanannya di atas net.  

"Terima kasih banyak."  

Dengan terengah-engah, Alisa berjabat tangan dengan Hatsune.  

Alisa meninggalkan lapangan kotak lalu disambut oleh Marika yang memegang handuk di tangannya.  

"Asha, kerja bagus."  

"Ya, terima kasih." 

Sambil menyeka keringat di wajahnya, Alisa duduk di bangku. Gerakan kasarnya saat duduk membuat suara keras, sesuatu yang biasanya tidak terlihat dari Alisa. Itu saja sudah menunjukkan betapa lelahnya dia.  

“Di permainan terakhir, bukankah kamu hampir menguasainya?”  

Evaluasi Marika bukan sanjungan atau penghiburan, Alisa menjawab dengan “Tidak” lalu menggelengkan kepala.  

"Sama sekali tidak. Pengambilan keputusanku benar-benar salah.”  

"Itu wajar karena kamu belum terbiasa." 

Ucapan itu datang dari Hatsune yang baru saja kembali dari lapangan.  

“Mungkin aku sedikit tidak dewasa untuk bermain seperti itu melawan pemain yang tidak berpengalaman sepertimu, Juumonji-san. Anggota klub lain juga memarahiku tentang ini.”

Sepertinya alasan dia butuh waktu lama untuk kembali ke bangku karena anggota lain mengkritiknya. Mereka mungkin mengatakan hal-hal seperti, 'Apa yang akan kita lakukan jika kamu memukuli setiap pendatang baru yang mungkin bergabung'.  

“Tidak, bukan seperti itu. Kamu belum bermain serius, kan?”  

Kalimat Alisa bukanlah pertanyaan. Nada suaranya bukanlah kecurigaan tetapi keyakinan.  

“Y-ya. Itu, yah..." 

Mendengar jawaban Hatsune, Alisa merasa dia mengerti setengah dari alasan frustrasinya.  

"Permisi. Aku sudah cukup berkeringat jadi aku ingin berganti.”  

Hatsune yang terlihat malu dengan cepat mengubah ekspresinya saat mendengar permintaan Alisa.  

“Ah, benar. Apa kamu ingin menggunakan shower?”  

Suara dan ekspresi Hatsune setengah lega dan setengah kecewa.  

Lega karena Alisa tidak marah. 

Kecewa karena Alisa mau pergi.  

"Terima kasih."  

"Oke. Aku akan membawamu ke sana. Lewat sini." 

Tapi tidak seperti yang dia harapkan, setelah Alisa mandi dan berganti kembali ke seragamnya, dia mengamati sesi latihan Klub Crowd Ball sampai tengah hari. 

◇ ◇ ◇

Waktu itu sekitar tengah hari. 

Alisa dan Marika berpisah dari Hatsune, mereka berdua makan siang di restoran yang cocok di depan stasiun, kemudian pulang dengan menggunakan Cabinet.

“Asha, apa pendapatmu tentang Klub Crowd Ball?”  

Marika bertanya kepada Alisa di dalam Cabinet dua kursi.  

“Itu membuat frustrasi.”  

Alisa berbicara dengan acuh tak acuh, sama sekali tidak terdengar frustrasi.  

“Eh?”  

Sampai-sampai Marika mengira dia salah dengar.  

“Aku merasakan rasa frustrasi, tetapi aku tidak tahu persis apa yang membuatku frustrasi. Aku pikir sebagian karena aku tidak bisa membuat presiden menganggap diriku serius.”  

"Bukankah itu karena kamu kalah?"  

Tebakan Marika masuk akal.  

"Aku tidak berpikir itu masalahnya."  

Namun Alisa membantahnya. Nadanya memiliki keyakinan di dalamnya. 

"Jadi begitu. Tapi kamu tidak tahu persis apa itu?”  

"Benar sekali."  

"Kamu tidak ingin memastikannya?"  

"Ya, aku baik-baik saja."  

"Kalau begitu...." 

"Kurasa aku akan bergabung dengan Klub Crowd Ball."  

Di tengah pertanyaan, ‘Lalu, apa yang akan kamu lakukan?’,  Alisa memberikan jawabannya.  

"Hmm...."

Dari alur percakapan, inilah kesimpulan yang diharapkan, tapi meski begitu Marika masih terkejut.  

Bergabung dengan klub karena frustrasi, apapun motif sebenarnya, sama sekali bukan seperti Alisa— atau setidaknya, itu bukan mentalitas yang diketahui Marika tentang Alisa.  

(Aku tahu itu, tidak semuanya seperti dulu....) 

Marika berpikir itu wajar, tapi di sisi lain dia merasa kesepian.  Jika tidak ada perubahan, tidak ada pertumbuhan. Oleh karena itu, perubahan itu wajar, jika memang tidak ada perubahan itu bisa mengkhawatirkan.  

Bukan perubahan Alisa itu sendiri yang membuatnya merasa kesepian, tapi Marika tidak bisa berbagi waktu saat dia berganti pakaian dengannya.  

◇ ◇ ◇

Jika dia mulai menghadiri kegiatan klub, ada sesuatu yang harus dipastikan Alisa selain perasaannya sendiri.  

Alisa yang pergi ke kamar terpisahnya setelah makan malam, kembali ke rumah utama ketika dia mendengar dari pengurus rumah kalau Katsuto telah kembali ke rumah. Di pintu masuk gedung, pengurus rumah memberitahunya Katsuto sedang menunggunya di ruang kerja. Dia langsung pergi ke sana.  

"Maaf mengganggu, ini Alisa."  

"Masuk."  

Ketukannya langsung dijawab.  

"Permisi."  

Alisa entah bagaimana berhasil menjaga suaranya agar tidak gemetar karena gugup saat memasuki ruangan Katsuto.  

Saat berdiri di depan Katsuto, Alisa merasa jauh lebih gugup daripada saat dibawa ke rumah ini. Dia pikir peningkatan keterampilan sihirnya ada hubungannya dengan itu.

Dua tahun lalu, dia tidak mengerti betapa hebatnya Katsuto, tapi dia sedikit demi sedikit mulai memahaminya. Terlebih lagi, dari analisis dirinya sendiri, dia sampai pada titik di mana dia merasakan tekanan kuat dari kekuatan sihirnya.  

Perasaan ilusi seperti dihancurkan bukan hanya karena perbedaan fisik mereka.  

Sebagai anggota Keluarga Juumonji, wajar dan pantas untuk merasakan kepercayaan pada aura yang dipancarkan Katsuto, tetapi Alisa membeku di depannya. Dia merasa bersalah karena memiliki reaksi itu. 

Kegugupan Alisa bukan hanya reaksi tulus terhadap tekanan, tetapi kekhawatiran Katsuto akan merasakan ketakutannya. 

Tidak peduli apa alasannya, tidak menyenangkan bagi siapa pun untuk ditakuti. Bahkan Katsuto seharusnya tidak menjadi pengecualian.  

Alisa berpikir begitu, dia diserang oleh kecemasan setiap saat.

Itu sebabnya Alisa tidak sering menemui Katsuto sendirian. Tapi kali ini, Alisa percaya dia harus pergi kepadanya atas kemauannya sendiri.  

“Katsuto-san, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”  

Hal yang sama berlaku untuk Yuuto, tetapi Alisa tidak memanggil Katsuto 'Nii-san'. Secara alami, dia juga tidak memanggilnya 'Onii-sama'. Dia tetap menggunakan 'Yuuto-san' dan 'Katsuto-san'. Bukannya dia tidak membuka dirinya untuk mereka, tetapi tidak dapat disangkal dia secara sukarela menarik garis antara mereka dan dia.  

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu di sekolah?"  

Tapi hal yang sama juga berlaku untuk Katsuto. Sulit untuk menganggap sikapnya kepada Alisa sebagai sikap terhadap seorang adik perempuan. Tapi ini tidak aneh untuk Alisa, terhadap Kazumi dia bertindak lebih seperti orang dewasa yang bertanggung jawab sebagai Kepala keluarga daripada saudara. Sebelum mewarisi kursi Kepala keluarga dari Kazuki, ia bertindak sebagai Kepala keluarga berikutnya. Alasan mengapa Kazumi yang baru memulai tahun kedua SMP terlihat lebih dewasa dari usianya mungkin karena sikap Katsuto.

Tapi bagi Alisa saat ini, respon dewasa seperti itu sangat diapresiasi.  

"Apa tidak apa-apa untuk mulai menghadiri kegiatan klub di sekolah? Ini bisa mempengaruhi waktu pelatihanku, tetapi aku bermaksud meningkatkan pelatihanku untuk menebusnya." 

“Aktivitas klub, uh?”  

“Apa tidak apa-apa?”  

"Ya. Jika ada sesuatu yang kamu butuhkan, beri tahu aku.”  

Katsuto dengan mudah menyetujui kegiatan klub Alisa.  

Alisa tidak berpikir Katsuto akan menentangnya, tetapi persetujuannya berjalan lebih lancar daripada yang diharapkan Alisa.  

“Ya, umm....” 

“Kamu tidak perlu khawatir tentang latihanmu. Keterampilan sihirmu meningkat pada tingkat yang baik. Bahkan jika kamu menghabiskan beberapa waktu untuk kegiatan klub, kemungkinan besar kamu bisa mencapai level target sebelum lulus.”  

Katsuto mengantisipasi Alisa akan berbicara tentang efek pada pelatihan sihirnya dan mengabaikan kekhawatirannya.  

Alisa menjadi lebih cemas ketika Katsuto memberinya tanda persetujuannya.  

"Benarkah? Masalah tentang tidak bisa menyerang, sudah enam bulan tapi masih belum ada tanda-tanda kemajuan.”  

“Kamu mungkin tidak perlu mempelajari sihir serangan.”  

Alisa merasa tersinggung dengan cara bicaranya, seolah dia mendorongnya pergi.  

Alisa tidak hanya merasakannya, dia menunjukkan di wajahnya.  

"Tugasmu adalah tidak menggunakan terlalu banyak kekuatan."  

Tapi Katsuto tidak tergoyahkan. Tidak ada sedikit pun kesalahan yang terlihat dalam sikapnya.

“Untuk menghindari kepanasan di Area Perhitungan Sihir, kamu harus memahami batasanmu dan memiliki kendali penuh atas sihirmu. Itulah kemampuan yang harus kamu capai, keterampilan serangan tidak lebih dari target sekunder. Jika kamu mencapai tujuan yang sebenarnya, tugas-tugas sekunder dapat diabaikan.”  

Alisa terkejut dengan kata-kata Katsuto.  

Untuk menaklukkan cacat genetik Keluarga Juumonji yang membuatnya rentan kepanasan. — Itulah alasan Alisa datang ke Tokyo.  

“Kamu juga tidak berniat menjadi penyihir pertempuran.”  

"....Benar."  

“Maka sihir serangan memiliki prioritas rendah. Lebih penting lagi, apa yang dapat kamu peroleh dari kegiatan klub selama tahun-tahun di SMA bisa menjadi prioritas.”  

“Apa yang bisa aku peroleh dari kegiatan klub?”  

“Dengan aktivitas klub yang didasarkan pada olahraga, kamu memupuk kekuatan fisik, fondasi dari segalanya.”

Ucapannya terlihat meyakinkan karena berasal dari Katsuto yang memiliki fisik kekar. Tapi itu sangat jelas sehingga meredam suasana hati.  

"Tapi yang lebih penting teman yang melampaui batas kelas dan tingkat." 

"Teman yang melampaui batas...." 

Tidak peduli apa yang terjadi, pelajaran diadakan sesuai tingkat kelas. Tidak bisa mendapatkan teman yang melebihi batas seperti senior atau junior jika kamu tidak bergabung dengan klub. Alisa juga mengetahui hal ini dari pengalamannya di tahun-tahun sekolah SMP. Dia telah menjadi bagian dari klub pulang sekolah selama SMP, tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan dewan siswa atau komite, jadi lingkaran pertemanannya tidak meluas melampaui tahun ajaran yang sama.  

"Tapi saat ini, aku rasa tidak perlu bagiku untuk menjelaskan ini padamu."

"Tidak, tidak perlu. Terima kasih banyak."  

Dorongan Katsuto untuk 'berteman' mirip dengan 'membuat koneksi' yang Yuuto katakan padanya ketika dia berkonsultasi dengannya tentang Komite Moral Publik.  

Bagi Sepuluh Master Clan yang memimpin komunitas penyihir, ini mungkin merupakan hal penting yang harus selalu ada di benak seseorang.  

Bahkan bagi Alisa yang tidak memiliki niat untuk menjalankan peran sebagai anggota Sepuluh Mater Clan, 'berteman' dan 'membuat koneksi' pada dasarnya hal yang sama. 'Aku baik-baik saja selama memiliki Marika' tidak dapat diterima. — Alisa tahu itu.  

Selama percakapannya dengan Katsuto, Alisa menyadari satu hal lagi.


Post a Comment

0 Comments